Cari Blog Ini

Rabu, 22 Desember 2010

Asuhan Keperawatan Anak dengan Leukemia

Asuhan Keperawatan Anak dengan Leukemia

A. Definisi

Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam sumsum tulang dan limfa (Reeves, 2001). Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sumsum tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal. Proliferasi juga terjadi di hati, limpa, dan nodus limfatikus. Terjadi invasi organ non hematologis seperti meninges, traktus gastrointestinal, ginjal, dan kulit.

Leukemia limfositik akut (LLA) sering terjadi pada anak-anak. Leukemia tergolong akut bila ada proliferasi blastosit (sel darah yang masih muda) dari sumsum tulang. Leukemia akut merupakan keganasan primer sumsum tulang yang berakibat terdesaknya komponen darah normal oleh komponen darah abnormal (blastosit) yang disertai dengan penyebaran organ-organ lain. Leukemia tergolong kronis bila ditemukan ekspansi dan akumulasi dari sel tua dan sel muda (Tejawinata, 1996).

Selain akut dan kronik, ada juga leukemia kongenital yaitu leukemia yang ditemukan pada bayi umur 4 minggu atau bayi yang lebih muda.


B. Etiologi

Penyebab LLA sampai sekarang belum jelas, namun kemungkinan besar karena virus (virus onkogenik).

Faktor lain yang berperan antara lain:

1. Faktor eksogen seperti sinar X, sinar radioaktif, dan bahan kimia (benzol, arsen, preparat sulfat), infeksi (virus dan bakteri).

2. Faktor endogen seperti ras

3. Faktor konstitusi seperti kelainan kromosom, herediter (kadang-kadang dijumpai kasus leukemia pada kakak-adik atau kembar satu telur).

Faktor predisposisi:

1. Faktor genetik: virus tertentu menyebabkan terjadinya perubahan struktur gen (T cell leukimia-lymphoma virus/HTLV)

2. Radiasi ionisasi: lingkungan kerja, prenatal, pengobatan kanker sebelumnya

3. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen anti neoplastik.

4. Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol

5. Faktor herediter misalnya pada kembar satu telur

6. Kelainan kromosom

Jika penyebab leukimia disebabkan oleh virus, virus tersebut akan mudah masuk ke dalam tubuh manusia jika struktur antigen virus tersebut sesuai dengan struktur antigen manusia. Struktur antigen manusia terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh(antigen jaringan). Oleh WHO, antigen jaringan ditetapkan dengan istilah HL-A (human leucocyte locus A). Sistem HL-A individu ini diturunkan menurut hukum genetika sehingga peranan faktor ras dan keluarga sebagai penyebab leukemia tidak dapat diabaikan.

C. Patofisiologi

Leukemia merupakan proliferasi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan biasanya berakhir fatal. Leukemia dikatakan penyakit darah yang disebabkan karena terjadinya kerusakan pada pabrik pembuat sel darah yaitu sumsum tulang. Penyakit ini sering disebut kanker darah. Keadaan yang sebenarnya sumsum tulang bekerja aktif membuat sel-sel darah tetapi yang dihasilkan adalah sel darah yang tidak normal dan sel ini mendesak pertumbuhan sel darah normal.

Terdapat dua mis-konsepsi yang harus diluruskan mengenai leukemia, yaitu:

1. Leukemia merupakan overproduksi dari sel darah putih, tetapi sering ditemukan pada leukemia akut bahwa jumlah leukosit rendah. Hal ini diakibatkan karena produksi yang dihasilkan adalah sel yang immatur.

2. Sel immatur tersebut tidak menyerang dan menghancurkan sel darah normal atau jaringan vaskuler. Destruksi seluler diakibatkan proses infiltrasi dan sebagai bagian dari konsekuensi kompetisi untuk mendapatkan elemen makanan metabolik.




D. Klasifikasi Leukimia

1. Leukemia Mielogenus Akut (LMA)

LMA mengenai sel stem hematopoetik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel mieloid; monosit, granulosit (basofil, netrofil, eosinofil), eritrosit, dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkena. Insidensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi.

2. Leukemia Mielogenus Krinis (LMK)

LMK juga dimasukkan dalam sistem keganasan sel stem mieloid. Namu lebih banyak sel normal dibanding bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. LMK jarang menyerang individu dibawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan gambaran LMA tetapi dengan tanda dan gejala yang lebih ringan. Pasien menunjukkan tanpa gejala selama bertahun-tahun, peningkatan leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa membesar.

3. Leukemia Limfositik Kronis (LLK)

LLK merupakan kelainan ringan mengenai individu usia 50 – 70 tahun. Manifestasi klinis pasien tidak menunjukkan gejala. Penyakit baru terdiagnosa saat pemeriksaan fisik atau penanganan penyakit.

4. Leukemia Limfositik Akut (LLA)

LLA dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak, laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Puncak insiden usia 4 tahun, setelah usia 15 tahun. LLA jarang terjadi. Limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal.


E. Tanda dan Gejala

1. Anemia

Disebabkan karena produksi sel darah merah kurang akibat dari kegagalan sumsum tulang memproduksi sel darah merah. Ditandai dengan berkurangnya konsentrasi hemoglobin, turunnya hematokrit, jumlah sel darah merah kurang. Anak yang menderita leukemia mengalami pucat, mudah lelah, kadang-kadang sesak nafas.

2. Suhu tubuh tinggi dan mudah infeksi

Disebabkan karena adanya penurunan leukosit, secara otomatis akan menurunkan daya tahan tubuh karena leukosit yang berfungsi untuk mempertahankan daya tahan tubuh tidak dapat bekerja secara optimal.



3. Perdarahan

Tanda-tanda perdarahan dapat dilihat dan dikaji dari adanya perdarahan mukosa seperti gusi, hidung (epistaxis) atau perdarahan bawah kulit yang sering disebut petekia. Perdarahan ini dapat terjadi secara spontan atau karena trauma. Apabila kadar trombosit sangat rendah, perdarahan dapat terjadi secara spontan.

4. Penurunan kesadaran

Disebabkan karena adanya infiltrasi sel-sel abnormal ke otak dapat menyebabkan berbagai gangguan seperti kejang sampai koma.

5. Penurunan nafsu makan

6. Kelemahan dan kelelahan fisik


F. Gambaran Klinis

Gejala yang khas berupa pucat (dapat terjadi mendadak), panas, dan perdarahan disertai splenomegali dan kadang-kadang hepatomegali serta limfadenopati. Perdarahan dapat didiagnosa ekimosis, petekia, epistaksis, perdarahan gusi, dsb.

Gejala yang tidak khas ialah sakit sendi atau sakit tulang yang dapat disalahartikan sebagai penyakit rematik. Gejala lain dapat timbul sebagai akibat infiltrasi sel leukemia pada alat tubuh seperti lesi purpura pada kulit, efusi pleura, kejang pada leukemia serebral.


G. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan darah tepi, gejala yang terlihat adalah adanya pansitopenia, limfositosis yang kadang-kadang menyebabkan gambaran darah tepi monoton dan terdapat sel blast (menunjukkan gejala patogonomik untuk leukemia).

Pemeriksaan sumsum tulang ditemukan gambaran monoton yaitu hanya terdiri dari sel limfopoetik patologis sedangkan sistem lain terdesak (aplasia sekunder).

Pemeriksaan biopsi limfa memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari jaringan limfa yang terdesak seperti: limfosit normal, RES, granulosit, pulp cell.

70 – 90% dari kasus leukemia Mielogenus Kronis (LMK) menunjukkan kelainan kromosom yaitu kromosom 21 (kromosom Philadelphia atau Ph 1).

50 – 70% dari pasien Leukemia Limfositik Akut (LLA), Leukemia Mielogenus Akut (LMA) mempunyai kelainan berupa:

- Kelainan jumlah kromosom seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid

- Kariotip yang pseudodiploid pada kasus dengan jumlah kromosom yang diploid (2n+a)

- Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial depletion)

- Terdapat marker kromosom yaitu elemen yang secara morfologis bukan merupakan kromosom normal, dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil. Untuk menentukan pengobatannya harus diketahui jenis kelainan yang ditemukan. Pada leukemia biasanya didapatkan dari hasil darah tepi berupa limfositosis lebih dari 80% atau terdapat sel blast. Juga diperlukan pemeriksaan dari sumsum tulang dengan menggunakan mikroskop elektron akan terlihat adanya sel patologis.


H. Penatalaksanaan

o Program terapi

Pengobatan terutama ditunjukkan untuk 2 hal (Netty Tejawinata, 1996) yaitu:

1. Memperbaiki keadaan umum dengan tindakan:

- Tranfusi sel darah merah padat (Pocket Red Cell-PRC) untuk mengatasi anemi. Apabila terjadi perdarahan hebat dan jumlah trombosit kurang dari 10.000/mm³, maka diperlukan transfusi trombosit.

- Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi.

2. Pengobatan spesifik

Terutama ditunjukkan untuk mengatasi sel-sel yang abnormal. Pelaksanaannya tergantung pada kebijaksanaan masing-masing rumah sakit, tetapi prinsip dasar pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

- Induksi untuk mencapai remisi: obat yang diberikan untuk mengatasi kanker sering disebut sitostatika (kemoterapi). Obat diberikan secara kombinasi dengan maksud untuk mengurangi sel-sel blastosit sampai 5% baik secara sistemik maupun intratekal sehingga dapat mengurangi gejala-gajala yang tampak.

- Intensifikasi, yaitu pengobatan secara intensif agar sel-sel yang tersisa tidak memperbanyak diri lagi.

- Mencegah penyebaran sel-sel abnormal ke sistem saraf pusat

- Terapi rumatan (pemeliharaan) dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi

3 fase Pelaksanaan Kemoterapi:

1. Fase Induksi

Dimulai 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi kortikosteroid (prednison), vineristin, dan L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan berhasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan di dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda kuurang dari 5%.

2. Fase profilaksis sistem saraf pusat

Pada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabine, dan hydrocortison melalui intratekal untuk mencegah invasi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf pusat.

3. Konsolidasi

Pada fase ini, kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan remisis dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala, dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat dikurangi.

o Pengobatan imunologik

Bertujuan untuk menghilangkan sel leukemia yang ada di dalam tubuh agar pasien dapat sembuh sempurna. Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus.


I. Asuhan Keperawata

Diagnosa Keperawatan

1. Risiko tinggi kekurangan volume cairan b.d intake dan output cairan, kehilangan berlebihan: muntah, perdarahan, diare, penurunan pemasukan cairan: mual, anoreksia, peningkatan kebutuhan cairan: demam, hipermetabolik.

Tujuan: volume cairan terpenuhi

Kriteria hasil:

- Volume cairan adekuat

- Mukosa lembab

- Tanda vital stabil: TD 90/60 mmHg, nadi 100x/menit, RR 20x/menit

- Nadi teraba

- Pengeluaran urin 30 ml/jam

- Kapileri refill <2 detik

Intervensi:

a. Monitor intake dan output cairan

b. Monitor berat badan

c. Monitor TD dan frekuensi jantung

d. Evaluasi turgor kulit, pengisian kapiler dan kondisi membran mukosa

e. Beri masukan cairan 3-4 L/hari

f. Inspeksi kulit/membran mukosa untuk petekie, area ekimosis; perhatikan perdarahan gusi, darah warna karat atau samar pada feses dan urin, perdarahan lanjut dari sisi tusukan invasif.

g. Implementasikan tindakan untuk mencegah cidera jaringan/perdarahan

h. Batasi perawatan oral untuk mencuci mulut bila diindikasikan

i. Berikan diet makanan halus

j. Kolaborasi:

- Berikan cairan IV sesuai indikasi

- Awasi pemeriksaan laboratorium: trombosit, Hb/Ht, pembekuan

- Berikan SDM, trombosit, faktor pembekuan

- Pertahankan alat akses vaskuler sentral eksternal (kateter arteri subklavikula, tunneld, port implan)

- Berikan obat sesuai indikasi: allopurinol, kalium asetat atau asetat, natrium bikarbonat, pelunak feses.

2. Nyeri b.d agen cidera fisik

Tujuan: nyeri teratasi

Kriteria hasil:

- Pasien menyatakan nyeri hilang atau terkontrol

- Menunjukkan perilaku penanganan nyeri

- Tampak rileks dan mampu istirahat


Intervensi:

a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan perubahan pada derajat nyeri (gunakan skala 0-10)

b. Awasi tanda vital, perhatikan petujuk non-verbal misal tegangan otot, gelisah

c. Berikan lingkungan tenang dan kurangi rangsangan penuh stres.

d. Tempatkan klien pada posisi nyaman dan ganjal sendi, ekstremitas dengan bantal.

e. Ubah posisi secara periodik dan bantu latihan rentang gerak lembut.

f. Berikan tindakan kenyamanan (pijatan, kompres dingin dan dukungan psikologis)

g. Kaji ulang/tingkatkan intervensi kenyamanan klien

h. Evaluasi dan dukung mekanisme koping klien

i. Dorong menggunakan teknik manajemen nyeri. Contoh: latihan relaksasi/nafas dalam, sentuhan.

j. Bantu aktivitas terapeutik, teknik relaksasi.

k. Kolaborasi:

- Awasi kadar asam urat, berikan obat sesuai indikasi: analgesik (asetaminofen), narkotik (kodein, meperidin, morfin, hidromorfin), agen ansietas (diazepam, lorazepam)

3. Risiko tinggi infeksi b.d menurunnya sistem pertahanan tubuh sekunder (gangguan pematangan SDP, peningkatan jumlah limfosit immatur, imunosupresi, penekanan sumsum tulang)

Tujuan: klien bebas dari infeksi

Kriteria hasil:

- Keadaan temperatur normal

- Hasil kultur negatif

- Peningkatan penyembuhan

Intervensi:

a. Tempatkan pada ruangan khusus. Batasi pengunjung sesuai indikasi

b. Cuci tangan untuk semua petugas dan pengunjung

c. Awasi suhu, perhatikan hubungan antara peningkatan suhu dan pengobatan kemoterapi. Observasi demam sehubungan dengan takikardia, hipotensi, perubahan mentak samar.

d. Cegah menggigil: tingkatkan cairan, berikan kompres

e. Dorong sering mengubah posisi, napas dalam, dan batuk

f. Auskultasi bunyi nafas, perhatikan gemericik, ronchi; inspeksi sekresi terhadap perubahan karakteristik, contoh peningkatan sputum atau sputum kental.

g. Inspeksi kulit untuk nyeri tekan, area eritematosus; luka terbuka. Bersihkan kulit dengan larutan antibakterial.

h. Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan sikat gigi halus.

i. Tingkatkan kebersihan perianal

j. Diet tinggi protein dan cairan

k. Hindari prosedur invasiv (tusukan jarum dan injeksi) bila mungkin

l. Kolaborasi

- Awasi pemeriksaan lab. Misal: hitung darah lengkap, apakah SDP turun atau tiba-tiba terjadi perubahan pada neutrofil; kultur gram/sensitivitas.

Kaji ulang seri foto dada, berikan obat sesuai indikasi, hindari antipiretik yang mengandung aspirin, berikan diet rendah bakteri, misal makanan dimasak.

4. Risiko terjadi perdarahan b.d trombositopenia

Tujuan: klien bebas dari gejala perdarahan

Kriteria hasil:

- TD 90/60 mmHg

- Nadi 100x/menit

- Ekskresi dan sekresi negatif terhadap darah

- Ht 40-54%(laki-laki), 37-47%(perempuan)

- Hb 14-18 gr%

Intervensi:

a. Pantau hitung trombosit dengan jumlah 50.000/ml, risiko terjadi perdarahan. Pantau Ht dan Hb terhadap tanda perdarahan.

b. Minta klien untuk mengingatkan perawat bila ada rembesan darah dari gusi

c. Inspeksi kkulit, mulut, hidung, urin, feses, muntahan, dan tempat tusukan IV terhadap perdarahan.

d. Gunakan jarum ukuran kecil

e. Jika terjadi perdarahan, tinggikan bagian yang sakit dan berikan kompres dingin dan tekan perlahan

f. Beri bantalan tempat tidur untuk mencegah trauma

g. Anjurkan pada klien untuk menggunakan sikat gigi halus atau pencukur listrik.

5. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum

Tujuan: klien mampu menoleransi aktivitas

Kriteria hasil:

- Peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur

- Berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari sesuai tingkat kemampuan

- Menunjukkan penurunan tanda fisiologis tidak toleran misal nadi, pernafasan, dan TD dalam batas normal

Intervensi:

a. Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa gangguan.

b. Implementasikan teknik penghematan energi. Contoh: lebih baik duduk daripada berdiri.

c. Jadwalkan makan sekitar kemoterapi. Jaga kebersihan mulut. Berikan antiemetik sesuai indikasi.

d. Kolaborasi: berikan oksigen tambahan.


J. Bibliografi

Behrman, Kliegman, Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. EGC

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC

Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Merdeka.

http://praktik-perawat.blogspot.com

http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/leukemia_pada_anak.html

http://dilichild86.blogspot.com/2008/04/asuh-keperawatan.html

Rabu, 15 Desember 2010

Laporan Asuhan Keperawatan Cedera Kepala Ringan


LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA RINGAN

Konsep Dasar
A.       Pengertian

Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
B.       Patofisiologi

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh, sehingga bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 50 – 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output.

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru.

Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
1.         Klasifikasi cidera kepala
a.         Cidera kepala primer

Akibat langsung pada mekanisme dinamik ( acceselarsi – descelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.

Pada cidera primer dapat terjadi :

1). Geger kepala ringan

2). Memar otak

3). Laserasi.
b.         Cedera kepala sekunder : timbul gejala seperti :

1). Hipotensi sistemik

2). Hiperkapnea

3). Hipokapnea

4). Udema otak

5). Komplikasi pernapasan

6). Infeksi komplikasi pada organ tubuh yang lain.
2.         Jenis perdarahan yang sering ditemui pada cidera kepala :
a.         Epidural hematoma

Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang arteri meningeal media yang terdapat diantara duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena sangat berbahaya . Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.

Gejala – gejalanya :

1). Penurunan tingkat kesadaran

2). Nyeri kepala

3). Muntah

4). Hemiparese

5). Dilatasi pupil ipsilateral

6). Pernapasan cepat dalam kemudian dangkal ( reguler )

7). Penurunan nadi

8). Peningkatan suhu
b.         Subdural hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam – 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Bingung

3). Mengantuk

4). Menarik diri

5). Berfikir lambat

6). Kejang

7). Udem pupil.
Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler dan vena.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Penurunan kesadaran

3). Komplikasi pernapasan

4). Hemiplegi kontra lateral

5). Dilatasi pupil

6). Perubahan tanda – tanda vital
d.        Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Penurunan kesadaran

3). Hemiparese

4). Dilatasi pupil ipsilateral

5). Kaku kuduk.
3.         Hubungan cedera kepala terhadap munculnya masalah keperawatan                           
       

   
               




Asuhan Keperawatan
1.         Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subyektif maupun obyektif pada gangguan sistem persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
Identitas  klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan darah, penghasilan, hubungan klien dengan penanggungjawab.
Riwayat kesehatan

Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang.

Riwayat penyakit dahulu barulah diketahui dengan baik yang berhubungan dengan sistem persyarafan maupun penyakit sistem – sistem lainnya, demikian pula riwayat penyakit keluarga yang mempunyai penyakit menular.
Pemeriksaan Fisik
1)        Aktifitas / istirahat

S    : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan

O   : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese,goyah dalam berjalan ( ataksia ), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
2)        Sirkulasi

O   : Tekanan darah  normal atau berubah, nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
3)        Integritas ego

S    : Perubahan tingkah laku / kepribadian

O   : Mudah tersinggung, bingung, depresi dan impulsive
4)        Eliminasi

O   : bab / bak inkontinensia / disfungsi.
5)        Makanan / cairan

S    : Mual, muntah, perubahan selera makan

O   : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
6)        Neuro sensori :

S    : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan / pembauan.

O   : Perubahan kesadara, koma.

Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
7)        Nyeri / rasa nyaman

S    : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.

O   : Wajah menyeringa, merintih.
8)        Repirasi

O   : Perubahan pola napas ( apnea, hiperventilasi ), napas  berbunyi, stridor , ronchi dan wheezing.
9)        Keamanan

S    : Trauma / injuri kecelakaan

O   : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang kekuatan paralysis, demam,perubahan regulasi temperatur tubuh.
10)    Intensitas sosial

O   : Afasia, distarsia
Pemeriksaan penunjang
1)        CT- Scan ( dengan tanpa kontras )

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan perubahan jaringan otak.
2)        MRI

Digunakan sama dengan CT – Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3)        Cerebral Angiography

Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4)        Serial EEG

Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5)        X – Ray

Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur )  perubahan struktur garis ( perdarahan / edema ), fragmen tulang.
6)        BAER

Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7)        PET

Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.
8)        CFS

Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9)        ABGs

Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan ( oksigenisasi ) jika terjadi peningkatan tekanan intra cranial.
10)    Kadar elektrolit

Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intrakranial.
11)    Screen Toxicologi

Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
Penatalaksanaan

Konservatif :

-            Bedres total

-            Pemberian obat – obatan

-            Observasi tanda – yanda vital ( GCS dan tingkat kesadaran).

Prioritas Masalah :

1).   Memaksimalkan perfusi / fungsi otak

2).   Mencegah komplikasi

3).   Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal.

4).   Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga

5).   Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana, pengobatan dan rehabilitasi.

Tujuan :

1).   Fungsi otak membaik, defisit neurologis berkurang/ tetap

2).   Komplikasi tidak terjadi

3).   Kebutuhan sehari – hari dapat terpenuhi sendiri atau dibantu oleh orang lain

4).   Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan

5).   Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai sumber informasi.

Diagnosa Keperawatan
Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
Tidak efektifnya kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum
Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udema pada otak.
Keterbatasan aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (Soporous koma)
Resiko gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasai, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
Kecemasan keluarga berhubungan dengan keadaan yang kritis pada pasien.

Daftar Putaka

Asikin Z. (1991). Simposium Keperawatan Penderita Cidera kepala Penatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas. (Jakarta).

Doenges. M. E. (1989). Nursing Care Plan. Guidelines For Planning Patient Care (2 nd ). Philadelpia, F.A. Davis Company

Harsono. (1993) Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Kariasa I Made. (1997). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Jakarta.

Long; BC and Phipps WJ. (1985). Essensial of Medical Surgical Nursing : A Nursing process Approach St. CV. Mosby Company.

Tabrani. (1998). Agenda Gawat Darurat. Penerbit Alumni. Bandung.

TINJAUAN KASUS

Tanggal Pengkajian                     : 8 April 2002

Tanggal Masuk Rumah Sakit      : 7 April 2002

Ruangan / Tempat                       : Ruangan Bedah F RS Dr. Soetomo

Diagnosa Masuk                          : COS + Fraktur Basis Cranii, Fraktur Maksilla  F II – F III
I.          Identitas

Nama                                       : Tn Cahyono

Umur                                       : 21 tahun

Suku / bangsa                          : Jawa / Indonesia

Agama                                     : Islam

Pendidikan/pekerjaan              : Mahasiswa

Alamat                                                : Kedaton / Jombang

Penannggung jawab   :

Nama                                       : Sumiatun

Umur                                       : 45 tahun

Suku / bangsa                          : Jawa / Indonesia

Agama                                     : Islam

Pendidikan/pekerjaan              : SMP / Wiraswasta

Hubungan dengan klien          : Orang tua / ibu kandung

Alamat                                                : Kedaton / Jombang
II.       Alasan Masuk Rumah Sakit

Alasan di rawat : Tidak sadarkan diri setelah terjatuh dari kendaraan sepeda motor

Upaya yang dilakukan :

Langsung membawa klien ke IRD RSUD Dr. Soetomo.

Klien baru pertama kali di opname di Rumah Sakit
III.    Riwayat Kesehatan

1.1.        Riwayat Penyakit sebelumnya

Klien sebelumnya tidak pernah menderita penyakit yang kronis / penyakit keturunan. Asthma Bronchiale tidak ada, Diabetes Mellitus tidak ada, klien selama ini hanya menderita penyakit panas, batuk dan pilek saja.

3.2                    Riwayat penyakit sekarang

Klien tidak sadarkan diri / pingsan setelah jatuh ke selokan karena menghindar dari truk yang berkecepatan tinggi pada tanggal 7 April 2002. Posisi jatuh tidak diketahui , selanjutnya klien pingsan dan temannya yang minta bantuan pada orang yang lewat. Kemudian klien di bawa ke IRD RSUD Dr. Soetomo, GCS pada saat di IRD ExV4M6.

3.3                    Riwayat Kesehatan Keluarga

Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit genetic maupun penyakit menular yang berbahaya.

3.4.   Keadaan kesehatan lingkungan    : Tidak dikaji.

3.5.      Genogram                   
           

       

   


Keterangan           
           



= Laki – laki                                           = Klien           
           



=  Perempuan                                          = Tinggal dalam satu rumah.
IV.    Observasi dan Pemeriksaan Fisik

1.2.Keadaan Umum

Kesadaran baik, GCS E3V4M6. Badan klien nampak bersih, gizi cukup, agak gelisah, terpasang infus DS – ½ – NS 1500 cc / 24 jam dan manitol 4 x 100 cc pada tangan kiri dan terpasang Dower kateter

1.3.Tanda Vital

Tekanan darah      : 90/60 mm Hg

Nadi                     : 84 x / menit

Suhu                     : 36,8 0C

Pernapasan           : 20 x / menit

1.4.Body Sistem
a)         Pernapasan

Hidung                : Nampak kotor karena adanya sisa darah yang kering

Trakhea                : Dalam Batas normal

Dada                    : Bentuk simetris, gerakan simetris, jejas tidak ada

Suara napas          : Vesikuler, tidak ada suara tambahan, batuk tidak ada, sputum tidak ada, cyanosis tidak.

Frekuensi napas : 20 x / menit
b)        Kardiovaskuler

Nyeri dada tidak ada, pusing tidak ada, kram kaki tidak ada, sakit kepala sebelah kanan, palpitasi tidak ada, Clubbing finger tidak ada.
c)         Persyarafan

Kesadaran                     : baik, GCS E3V4M6

Kepala dan wajah         : Deformitas wajah  baik, edema palpebra S/D : +/+

Mata                             :Mata agak sulit dibuka karena pada daerah palpebra oedema dan nampak kebiruan.

Mulut                            : Bengkak pada daerah bibir, gigi depan atas dan bawah keluar sebanyak 4 dan 3, terdapat darah yang mengering pada daerah mulut.

Leher                            : Dalam batas normal

Refleks fisiologis          : Normal

Refleks Pathologis        : Babinski negatif

Pendengaran                 : kanan / kiri normal

Penciuman                    : Normal

Pengecapan                   : Tidak dikaji

Penglihatan                   : Tidak dikaji

Perabaan                       : Tidak dikaji

Lainnya                         : Tidak ada.
d)        Perkemihan / eliminasi urine

Produksi urine                 : kurang lebih 1300 cc / 24 jam

Warna urine                     : Kuning agak kemerahan

Gangguan saat kencing : Tidak ada

Lainnya                            : Terpasang kateter sejak tanggal 7 April 2002.
e)         Makan dan minum        :

Mulut                               : Tampak kotor dengan darah yang mongering, tidak dapat menutup mulut dengan rapat, udem pada daerah bibir. Klien tidak dapat mengunyah dengan sempurna, makanan yang diberikan adalah bubur saring dan susu. Porsi yang diberikan dapat dihabiskan.

Tenggorokan                    : Tidak ada kelainan

Abdomen                         : jejas tidak ada, peristaltik baik, simetris

BAB                                : Selama 2 hari ini klien belum BAB

Obat pencahar                 : belum digunakan

Lavamen                          : Belum dilakukan

Lain – lain                        : Tidak ada.
f)         Tulang otot dan integumen5          5


5          5



Kemampuan pergerakan sendi
   


Parese tidak ada, paralise, tidak, hemiparese tidak ada.

Ekstremitas atas               : Tidak terdapat kelainan

Ekstremitas bawah          : Terdapat luka lecet pada lutut kanan yang mengering.

Warna kulit                      : Sawo matang

Akral                                : Hangat

Turgor kulit                      : Baik

ADL                                : Klien saat ini masih berbaring di tempat tidur.
g)        Sistem Endokrin

Terapi hormon                   :tidak ada Riwayat pertumbuhan dan perkembangan fisik            :normal

Perubahan ukuran kepala :tidak mengalami kelainan

Rambut dan kulit              : Tidak nampak kering

Exopthalmus                     : Tidak ada

Goiter                                : Tidak ada

Hipoglikemia                     : Tidak ada

Toleransi terhadap panas   : Ya

Toleransi terhadap dingin : Ya

Polidipsi                            : Tidak ada

Poliuri                                : Tidak ada

Polipagi                             : Tidak ada

Postural hipotensi              : Tidak ada

Kelemahan                        : Tidak ada.
h)        Sistem Hemopoitik

Diagnosa penyakit hemopoitik yang lalu : Tidak ada

Anemia                                                       : Tidak ada

Kecenderungan perdarahan                        : Tidak ada

Transfusi darah                                           : Tidak pernah

Golongan darah                                          : O.
i)          Reproduksi

Laki – laki                                                   : Testis ada, penis normal.
j)          Psikososial

Klien dapat berinteraksi dengan baik kepada petugas kesehatan.
k)        Spritual

Sewaktu belum sakit klien menjalankan sholat 5 waktu secara teratur, dan selama sakit klien tidak lagi melaksanakannya.
V.       Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 8 April 2002

Hb                : 13,4 gr %

Leuko           : 20.600

Trombo         : 181.000
BGA  :

PH                            : 7,392                         ( N  : 7,35 – 7,45 )

PCO2                       : 34,2                           ( N  : 35 – 45 )

PO2                          : 217,9                         ( N  : 80 – 104 )

HCO3                      : 20,4                           ( N  : 21 – 25 )

BE                            : – 4,6                           ( N  : – 3,3 – +1,2 )
CT- Scan

ICH Parieto Occipital dextra, Fronto parietal dextra, Fraktur Zygoma Dextra, dinding lateral orbita dextra

Analisa : COS + SFBC + FR. Maxilla LF II – III + Hematosinus dextra dan sinistra.

Rencana Acara         : Operasi fraktur maxilla
VI.    Therapy

-            Voltaren 3 x 1 amp

-            Rantin 3 x 1 amp

-            Cedantron 3 x 1 amp

-            Dilantin 3 x 1 amp

-            Manitol 4 x 100 cc

-            Infus DS ½ – NS
VII. Diagnosa Keperawatan Sesuai Prioritas.
1.         Gangguan perfusi darah otak berhubungan dengan oedema serebri dengandata penunjang :

-            Sewaktu kecelakaan pasien tidak sadarakan diri

-            GCS ExV4M5

-            CT – Scan : ditemukan Intra cranial Hematoma parieto occipital dextra, fraktur zygoma dextra dinding lateral dextra.

-            Tekanan darah : 90/ 60 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,8 OC Pernapasan 20 x / menit.

-            Pemberian manitol 4 x 100 cc
2.         Resiko terjadinya peningkatan TIK berhubungan dengan gangguan oksigenisasi ke otak dengan data penunjang :

-            GCS ExV4M5

-            CT – Scan : ditemukan Intra cranial Hematoma parieto occipital dextra, fraktur zygoma dextra dinding lateral dextra.

-            Tekanan darah : 90/ 60 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,8 OC Pernapasan 20 x / menit.

-            Pemberian Dilantin 3 x 1 amp
3.         Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dan infus dengan data penunjang :

-            Terpasang kateter sejak tanggal 7 April 2002

-            Terpasang infus sejak tanggal 7 April 2002

-            Pengeluaran urine sebanyak 1300 cc/ 24 jam melalui selang kateter.

-            Pemberian cedantion 3 x 1 amp

-            Pemberian voltaren 3 x 1 amp
4.         Gangguan oral hygiene berhubungan dengan perawatan mulut yang tidak optimal dengan data penunjang :

-            Klien mengatakan rasa nyeri sewaktu membuka mulut

-            Oedema pada daerah mulut

-            Gigi tanggal sebanyak 7 buah

-            Terdapatnya darah kering sekitar mulut dan hidung
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA


      
        Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai  hal.
        Untuk kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi akan sa-
        ngat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat  berat-
        nya cedera kepala serta berdasar morfologi.
      
        Tabel 1
        Klasifikasi cedera kepala
        -------------------------------------------------------
        A. Berdasarkan mekanisme
             1 Tertutup
             2 Penetrans
        B. Berdasarkan beratnya
             1 Skor Skala Koma Glasgow
             2 Ringan, sedang, berat
        C. Berdasarkan morfologi
             1 Fraktura tengkorak
                  a Kalvaria
                       1 Linear atau stelata
                       2 Depressed atau nondepressed
                  b Basilar
             2 Lesi intrakranial
                  a Fokal
                       1 Epidural
                       2 Subdural
                       3 Intraserebral
                  b Difusa
                       1 Konkusi ringan
                       2 Konkusi klasik
                       3 Cedera aksonal difusa
      
      
        BERDASAR MEKANISME
      
        Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai ter-
        tutup  dan penetrans. Walau istilah ini luas  digunakan
        dan berguna untuk membedakan titik pandang, namun sebe-
        tulnya  tidak  benar-benar dapat  dipisahkan.  Misalnya
        fraktura tengkorak depres dapat dimasukkan kesalah satu
        golongan  tersebut, tergantung kedalaman  dan  parahnya
        cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk kegunaan  kli-
        nis, istilah cedera kepala tertutup biasanya  dihubung-
        kan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan
        cedera  kepala penetrans lebih sering dikaitkan  dengan
        luka  tembak dan luka tusuk. Karena  pengelolaan  kedua
        kelompok  besar ini sedikit  berbeda,  dipertahankanlah
        pengelompokan ini untuk keperluan dskriptif.
      
      
        BERDASAR BERATNYA
      
        Sebelum  1974, penulis berbeda menggunakan  terminologi
        dengan konotasi bermacam-macam untuk menjelaskan pasien
        dengan  cedera kepala, dengan akibat  betul-betul tidak
        mungkin untuk membandingkan kelompok pasien dari senter
        yang berbeda. Pada tahun 1974 Teasdale dan Jennet,  de-
        ngan mempelajari tanda-tanda yang tampaknya lebih dapat
        dipercaya dalam memprediksi outcome dan yang mana  tam-
        paknya  mempunyai  variasi yang kecil  antar  pengamat,
        merancang hal yang sekarang dikenal sebagai Skala  Koma
        Glasgow. Pengenalan SKG berakibat timbulnya keseragaman
        dan  kedisiplinan dalam literatur cedera kepala.  Skala
        ini telah mencapai penggunaan yang luas untuk menjelas-
        kan  pasien dengan cedera kepala dan selanjutnya  sudah
        diadopsi  untuk mendeskripsikan penderita dengan  peru-
        bahan tingkat kesadaran karena sebab lain.
             Jennett  dan Teasdale menentukan koma sebagai  ke-
        tidakmampuan untuk menuruti perintah, mengucapkan  kata-
        kata dan membuka mata. Pada pasien yang tidak mempunyai
        ketiga aspek pada definisi tersebut tidak dianggap  se-
        bagai koma. Pasien yang bisa membuka mata secara  spon-
        tan, dapat mengikuti perintah serta mempunyai  orienta-
        si,  mempunyai skor total 15 poin, sedang  pasien  yang
        flaksid, dimana tidak bisa membuka mata atau  berbicara
        mempunyai skor minimum yaitu 3. Tidak ada skor  tunggal
        antara 3 dan 15 menentukan titik mutlak untuk koma. Ba-
        gaimanapun  90% pasien dengan skor total  delapan  atau
        kurang, dan tidak untuk yang mempunyai skor 9 atau  le-
        bih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan definisi
        terdahulu. Untuk kegunaan praktis, skor total SKG 8  a-
        tau  kurang menjadi definisi yang sudah  umum  diterima
        sebagai pasien koma. Perbedaan antara pasien dengan ce-
        dera kepala berat dan dengan cedera kepala sedang  atau
        ringan karenanya menjadi sangat jelas. Namun  perbedaan
        antara cedera kepala sedang dan berat lebih sering  me-
        miliki masalah. Beberapa menyatakan bahwa pasien cedera
        kepala dengan jumlah skor 9 hingga 12 dikelompokkan se-
        bagai  cedera kepala sedang, dan skor SKG 13 hingga  15
        sebagai ringan. Williams, Levin dan Eisenberg baru-baru
        ini melaporkan defisit neurologis penderita dengan  ce-
        dera kepala ringan (SKG 12 hingga 15) dengan lesi massa
        intrakranial  pada  CT  pertama  adalah  sesuai  dengan
        pasien  dengan cedera kepala sedang (SKG 9 hingga  11).
        Pasien dengan cedera kepala ringan tanpa dengan kompli-
        kasi lesi intrakranial pada CT jelas lebih baik.
              Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan
        sebagai penderita cedera kepala berat bila :
           1. Pupil tak ekual
           2. Pemeriksaan motor tak ekual.
           3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau
              adanya jaringan otak yang terbuka.
           4. Perburukan neurologik.
           5. Fraktura tengkorak depressed.

      
        BERDASAR MORFOLOGI
      
        Hadirnya CT Scanning menimbulkan revolusi dalam  klasi-
        fikasi dan pengelolaan cedera kepala. Walau pada pasien
        tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin
        dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera berat
        sangat  diuntungkan  oleh CT  scan  sebelum  dioperasi.
        Karenanya tindak lanjut CT scan berulang sangat penting
        karena  gambaran morfologis pada pasien  cedera  kepala
        sering mengalami evolusi yang nyata dalam beberapa  jam
        pertama, beberapa hari, dan bahkan beberapa minggu  se-
        telah  cedera. Secara morfologi, cedera kepala  mungkin
        secara  umum  digolongkan kedalam dua  kelompok  utama:
        fraktura tengkorak dan lesi intrakranial.
      
      
        Fraktura Tengkorak
      
        Fraktura  tengkorak mungkin tampak pada  kalvaria  atau
        basis,  mungkin linear atau stelata, mungkin  depressed
        atau nondepressed. Fraktura tengkorak basal sulit  tam-
        pak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT  scan
        dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan  lo-
        kasinya.  Adanya tanda klinis fraktura tengkorak  basal
        mempertinggi indeks kemungkinan dan membantu  identifi-
        kasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih
        dari  ketebalan tengkorak memerlukan  operasi  elevasi.
        Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat  hu-
        bungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan se-
        rebral karena duranya robek, dan fraktura ini  memerlu-
        kan operasi perbaikan segera.
             Mengutip  Jennett dan Teasdale,  "Untuk  mendasari
        pemikiran,  dan terutama untuk  membenarkan  pemikiran,
        fraktura tengkorak adalah pertanda keparahan yang nyata
        setelah  cedera  kepala. Beribu-ribu  kepala  disinar-x
        diruang gawat darurat, namun hanya dua atau tiga  kasus
        dari seratus yang memiliki fraktura; mengakibatkan  ra-
        diologis  menulisi kertas berdasarkan  pengiriman  yang
        tidak  benar  dan menuntut klinisi  mengerjakan  triase
        yang lebih baik sebelum sinar-x dikerjakan. Dokter  be-
        dah saraf telah lama menjelaskan bahwa penaksiran ting-
        kat kesadaran lebih penting dari sinar-x tengkorak, dan
        ini  secara salah ditafsirkan bahwa  menaruh  perhatian
        untuk  melacak  adanya fraktura adalah  tidak  penting,
        terutama setelah cedera kepala yang agak ringan. Kenya-
        taannya,  pada  pasien dengan kesadaran  tak  terganggu
        yang  mungkin  dipulangkan setelah  kecelakaan  ringan,
        adanya  fraktura adalah sangat berarti,  karena  mewas-
        padakan klinisi terhadap risiko komplikasi seperti  he-
        matoma  intrakranial atau infeksi". Frekuensi  fraktura
        tengkorak  bervariasi, lebih banyak fraktura  ditemukan
        bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih  ba-
        nyak  mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria  linear
        mempertinggi  risiko hematoma intrakranial sebesar  400
        kali  pada  pasien yang sadar dan 20 kali  pada  pasien
        yang  tidak  sadar. Untuk alasan ini,  adanya  fraktura
        tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sa-
        kit  untuk pengamatan, tidak peduli  bagaimana  baiknya
        tampak pasien tersebut.
      
      
        Lesi Intrakranial
      
        Mungkin dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difu-
        sa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersa-
        maan.  Lesi fokal termasuk hematoma epidural,  hematoma
        subdural,  dan kontusi (atau  hematoma  intraserebral).
        Pasien  pada kelompok cedera otak difusa, secara  umum,
        menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan  perubahan
        sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular  cedera
        otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun  tera-
        khir ini.
      
      
        Lesi Fokal
      
             Hematoma  Epidural.  Klot  terletak  diluar  dura,
        namun didalam tengkorak. Paling sering terletak diregi-
        o temporal atau temporal-parietal dan sering akibat ro-
        beknya pembuluh meningeal media. Klot biasanya dianggap
        berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarah-
        an  vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang,  hematoma
        epidural  mungkin akibat robeknya sinus vena,  terutama
        diregio  parietal-oksipital atau fossa  posterior.  Wa-
        lau  hematoma  epidural relatif  tidak  terlalu  sering
        (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma  cedera
        kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis
        dan  ditindak segera. Bila ditindak  segera,  prognosis
        biasanya  baik karena cedera otak  disekitarnya  biasa-
        nya  masih terbatas. Outcome langsung  bergantung  pada
        status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma
        epidural  sekitar  0% pada pasien tidak koma,  9%  pada
        pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.
             Hematoma Subdural. Sangat lebih sering dari  hema-
        toma  epidural, ditemukan sekitar 30% penderita  dengan
        cedera  kepala berat. Terjadi paling sering akibat  ro-
        beknya vena bridging antara korteks serebral dan  sinus
        draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
        permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mung-
        kin  ada  atau tidak. Selain itu, kerusakan  otak  yang
        mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih
        berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidu-
        ral.  Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin  diperkecil
        oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelola-
        an medis agresif.
             Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi sereb-
        ral  sejati  terjadi cukup sering.  Frekuensinya  lebih
        nyata  sejak kualitas dan jumlah CT scanner  meningkat.
        Selanjutnya,  kontusi otak hampir selalu berkaitan  de-
        ngan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi ter-
        jadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat  terjadi
        pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang  otak.
        Perbedaan  antara  kontusi dan  hematoma  intraserebral
        traumatika  tetap  tidak jelas batasannya.  Lesi  jenis
        'salt-and-pepper'  klasik jelas suatu kontusi, dan  he-
        matoma  yang besar jelas bukan. Bagaimanapun,  terdapat
        zona  peralihan, dan kontusi dapat secara  lambat  laun
        menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
      
      
        Cedera difusa
      
        Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat prog-
        resif yang berkelanjutan, disebabkan oleh  meningkatnya
        jumlah  cedera akselerasi-deselerasi otak. Pada  bentuk
        murni,  cedera otak difusa adalah jenis  cedera  kepala
        yang paling sering.
             Konkusi Ringan. Konkusi ringan cedera dimana kesa-
        daran tidak terganggu namun terdapat suatu tingkat dis-
        fungsi  neurologis temporer. Cedera ini sering  terjadi
        dan karena derajatnya ringan, sering tidak dibawa kepu-
        sat medik. Bentuk paling ringan konkusi berakibat  kon-
        fusi dan disorientasi tanpa amnesia. Sindrom ini biasa-
        nya  pulih sempurna dan tanpa disertai  adanya  sekuele
        major.  Cedera kepala yang sedikit lebih  berat  menye-
        babkan  konfusi dengan  baik amnesia  retrograd  maupun
        posttraumatika.
             Konkusi Serebral Klasik.  Konkusi serebral  klasik
        adalah keadaan pasca trauma dengan akibat hilangnya ke-
        sadaran. Keadaan ini selalu disertai suatu tingkat  am-
        nesia retrograd dan posttraumatika, dan lamanya amnesia
        posttraumatika adalah pengukur yang baik atas  beratnya
        cedera. Hilangnya kesadaran adalah sementara dan  dapat
        pulih. Menurut definisi yang tidak terlalu ketat, pasi-
        en kembali sadar sempurna dalam enam jam, walau  biasa-
        nya sangat awal. Kebanyakan pasien setelah konkusi  se-
        rebral  klasik tidak mempunyai sekuele kecuali  amnesia
        atas  kejadian yang berkaitan dengan cedera, namun  be-
        berapa pasien mempunyai defisit neurologis yang  berja-
        lan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.
             Cedera Aksonal Difusa (CAD). Cedera aksonal difusa
        (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah istilah untuk  men-
        jelaskan koma pasca traumatika yang lama yang tidak di-
        karenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Kehilang-
        an  kesadaran sejak saat cedera berlanjut  diluar  enam
        jam.  Fenomena ini mungkin dipisahkan menjadi  kategori
        ringan, sedang dan berat. CAD ringan relatif jarang dan
        dibatasi pada kelompok dengan koma yang berakhir pada 6
        hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut perintah se-
        telah 24 jam. CAD sedang dibatasi pada koma yang  bera-
        khir  lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda  batang  otak
        yang  menonjol. Ini bentuk CAD yang paling  sering  dan
        merupakan  45% dari semua pasien dengan CAD.  CAD berat
        biasanya  terjadi pada kecelakaan kendaraan dan  bentuk
        yang paling mematikan. Merupakan 36% dari semua  pasien
        dengan  CAD. Pasien menampakkan koma dalam dan  menetap
        untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda  dekor-
        tikasi  atau deserebrasi dan sering dengan cacat  berat
        yang  menetap bila penderita tidak mati. Pasien  sering
        menunjukkan disfungsi otonom seperti hipertensi, hiper-
        hidrosis  dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak  mem-
        punyai  cedera batang otak primer.  Sekarang  dipercaya
        bahwa CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada  fisio-
        logi atas gambaran klinik yang terjadi.

Selasa, 14 Desember 2010

video pemasangan NGT

cara pemasangan NGT

Pengertian
Memasukkan NGT (Penduga lambung) melalui hidung ke dalam lambung.
1.    Memberi makanan dan obat-obatan.
 2.   Membilas/mengumbah lambung
Tujuan
Sebagai acuan untuk melakukan tindakan pemasang NGT
1. Membilas/mengumbah lambung
2. Memberi makanan dan obat-obatan.
Kebijakan
-1    Perawat yang terampil
-2    Tersedia alat-alat lengkap
Prosedur
Persiapan alat :
1.NGT
9. Stetoscope
2. Plester
10. Spuit 10 cc
3. Gunting
11. aquades dalam Kom
4. Bengkok
12. obat- obatan/ makanan yang akan dimasukan
5. Sarung tangan
6. aqua Jelly
13. . corong
7. Perlak + Pengalas
14. kasa
8. Alat tulis
15. spatel

PENATALAKSANAAN
1.    Menjelaskan tujuan pemasangan NGT pada keluarga pasien
2.    Membawa alat-alat ke dekat pasien
3.    Mengatur posisi pasien sesuai dengan keadaan pasien
4.    Memasang perlak + pengalas pada daerah dada
6.    Mencuci tangan dan memakai sarung tangan
7.    Mengukur dan memberi tanda pada NGT yang akan dipasang lebih kurang 40-45 cm (diukur mulai dahi s/d proxesus xypoideus)
8.    Mengolesi NGT dengan aquaJelly sepajang 15 cm dari ujung NGT
9.    Memasukkan NGT malalui lubang hidung dan pasien dianjurkan untuk menelan (jika pasien tidak sadar tekan lidah pasien dengan spatel) masukan NGT sampai pada batas yang sudah ditentukan sambil perhatikan keadaan umum pasien.
10.  Cek posisi NGT (apakah masuk di  lambung atau di paru-paru) dengan 3 cara :
a.  Aspirasi cairan lambung dengan spuit 10 cc jika cairan bercampur isis lambung berarti sudah masuk kelambung,
b. Memasukan ujung NGT (yang dihidung) kedalam air dalam kom bila ada gelembung berarti  NGT dalam paru-paru
c. Petugas memasukan gelembung udara melalui spuit bersamaan dilakukan pengecekan perut dengan stetoskop untuk mendengarkan gelembung udara di lambung
11. Memasang corong (yang sudah dibilas dengan air hangat), kemudian memasukan obat-obatan/makanan
12. Melepas corong, menutup NGT dengan spuit 10 cc.
13.  Merapikan alat-alat dan pasien kemudian sarung tangan dilepas.
14.  Mendokumentasikan

Hal-hal yang perlu diperhatikan :
1. NGT / Sonde dipasang selama 7 hari (ganti setiap 7 hari sekali)
Unit terkait
Rawat Inap