Asuhan Keperawatan Anak dengan Leukemia
A. Definisi
Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam sumsum tulang dan limfa (Reeves, 2001). Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sumsum tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal. Proliferasi juga terjadi di hati, limpa, dan nodus limfatikus. Terjadi invasi organ non hematologis seperti meninges, traktus gastrointestinal, ginjal, dan kulit.
Leukemia limfositik akut (LLA) sering terjadi pada anak-anak. Leukemia tergolong akut bila ada proliferasi blastosit (sel darah yang masih muda) dari sumsum tulang. Leukemia akut merupakan keganasan primer sumsum tulang yang berakibat terdesaknya komponen darah normal oleh komponen darah abnormal (blastosit) yang disertai dengan penyebaran organ-organ lain. Leukemia tergolong kronis bila ditemukan ekspansi dan akumulasi dari sel tua dan sel muda (Tejawinata, 1996).
Selain akut dan kronik, ada juga leukemia kongenital yaitu leukemia yang ditemukan pada bayi umur 4 minggu atau bayi yang lebih muda.
B. Etiologi
Penyebab LLA sampai sekarang belum jelas, namun kemungkinan besar karena virus (virus onkogenik).
Faktor lain yang berperan antara lain:
1. Faktor eksogen seperti sinar X, sinar radioaktif, dan bahan kimia (benzol, arsen, preparat sulfat), infeksi (virus dan bakteri).
2. Faktor endogen seperti ras
3. Faktor konstitusi seperti kelainan kromosom, herediter (kadang-kadang dijumpai kasus leukemia pada kakak-adik atau kembar satu telur).
Faktor predisposisi:
1. Faktor genetik: virus tertentu menyebabkan terjadinya perubahan struktur gen (T cell leukimia-lymphoma virus/HTLV)
2. Radiasi ionisasi: lingkungan kerja, prenatal, pengobatan kanker sebelumnya
3. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen anti neoplastik.
4. Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol
5. Faktor herediter misalnya pada kembar satu telur
6. Kelainan kromosom
Jika penyebab leukimia disebabkan oleh virus, virus tersebut akan mudah masuk ke dalam tubuh manusia jika struktur antigen virus tersebut sesuai dengan struktur antigen manusia. Struktur antigen manusia terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh(antigen jaringan). Oleh WHO, antigen jaringan ditetapkan dengan istilah HL-A (human leucocyte locus A). Sistem HL-A individu ini diturunkan menurut hukum genetika sehingga peranan faktor ras dan keluarga sebagai penyebab leukemia tidak dapat diabaikan.
C. Patofisiologi
Leukemia merupakan proliferasi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan biasanya berakhir fatal. Leukemia dikatakan penyakit darah yang disebabkan karena terjadinya kerusakan pada pabrik pembuat sel darah yaitu sumsum tulang. Penyakit ini sering disebut kanker darah. Keadaan yang sebenarnya sumsum tulang bekerja aktif membuat sel-sel darah tetapi yang dihasilkan adalah sel darah yang tidak normal dan sel ini mendesak pertumbuhan sel darah normal.
Terdapat dua mis-konsepsi yang harus diluruskan mengenai leukemia, yaitu:
1. Leukemia merupakan overproduksi dari sel darah putih, tetapi sering ditemukan pada leukemia akut bahwa jumlah leukosit rendah. Hal ini diakibatkan karena produksi yang dihasilkan adalah sel yang immatur.
2. Sel immatur tersebut tidak menyerang dan menghancurkan sel darah normal atau jaringan vaskuler. Destruksi seluler diakibatkan proses infiltrasi dan sebagai bagian dari konsekuensi kompetisi untuk mendapatkan elemen makanan metabolik.
D. Klasifikasi Leukimia
1. Leukemia Mielogenus Akut (LMA)
LMA mengenai sel stem hematopoetik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel mieloid; monosit, granulosit (basofil, netrofil, eosinofil), eritrosit, dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkena. Insidensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi.
2. Leukemia Mielogenus Krinis (LMK)
LMK juga dimasukkan dalam sistem keganasan sel stem mieloid. Namu lebih banyak sel normal dibanding bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. LMK jarang menyerang individu dibawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan gambaran LMA tetapi dengan tanda dan gejala yang lebih ringan. Pasien menunjukkan tanpa gejala selama bertahun-tahun, peningkatan leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa membesar.
3. Leukemia Limfositik Kronis (LLK)
LLK merupakan kelainan ringan mengenai individu usia 50 – 70 tahun. Manifestasi klinis pasien tidak menunjukkan gejala. Penyakit baru terdiagnosa saat pemeriksaan fisik atau penanganan penyakit.
4. Leukemia Limfositik Akut (LLA)
LLA dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak, laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Puncak insiden usia 4 tahun, setelah usia 15 tahun. LLA jarang terjadi. Limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal.
E. Tanda dan Gejala
1. Anemia
Disebabkan karena produksi sel darah merah kurang akibat dari kegagalan sumsum tulang memproduksi sel darah merah. Ditandai dengan berkurangnya konsentrasi hemoglobin, turunnya hematokrit, jumlah sel darah merah kurang. Anak yang menderita leukemia mengalami pucat, mudah lelah, kadang-kadang sesak nafas.
2. Suhu tubuh tinggi dan mudah infeksi
Disebabkan karena adanya penurunan leukosit, secara otomatis akan menurunkan daya tahan tubuh karena leukosit yang berfungsi untuk mempertahankan daya tahan tubuh tidak dapat bekerja secara optimal.
3. Perdarahan
Tanda-tanda perdarahan dapat dilihat dan dikaji dari adanya perdarahan mukosa seperti gusi, hidung (epistaxis) atau perdarahan bawah kulit yang sering disebut petekia. Perdarahan ini dapat terjadi secara spontan atau karena trauma. Apabila kadar trombosit sangat rendah, perdarahan dapat terjadi secara spontan.
4. Penurunan kesadaran
Disebabkan karena adanya infiltrasi sel-sel abnormal ke otak dapat menyebabkan berbagai gangguan seperti kejang sampai koma.
5. Penurunan nafsu makan
6. Kelemahan dan kelelahan fisik
F. Gambaran Klinis
Gejala yang khas berupa pucat (dapat terjadi mendadak), panas, dan perdarahan disertai splenomegali dan kadang-kadang hepatomegali serta limfadenopati. Perdarahan dapat didiagnosa ekimosis, petekia, epistaksis, perdarahan gusi, dsb.
Gejala yang tidak khas ialah sakit sendi atau sakit tulang yang dapat disalahartikan sebagai penyakit rematik. Gejala lain dapat timbul sebagai akibat infiltrasi sel leukemia pada alat tubuh seperti lesi purpura pada kulit, efusi pleura, kejang pada leukemia serebral.
G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan darah tepi, gejala yang terlihat adalah adanya pansitopenia, limfositosis yang kadang-kadang menyebabkan gambaran darah tepi monoton dan terdapat sel blast (menunjukkan gejala patogonomik untuk leukemia).
Pemeriksaan sumsum tulang ditemukan gambaran monoton yaitu hanya terdiri dari sel limfopoetik patologis sedangkan sistem lain terdesak (aplasia sekunder).
Pemeriksaan biopsi limfa memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari jaringan limfa yang terdesak seperti: limfosit normal, RES, granulosit, pulp cell.
70 – 90% dari kasus leukemia Mielogenus Kronis (LMK) menunjukkan kelainan kromosom yaitu kromosom 21 (kromosom Philadelphia atau Ph 1).
50 – 70% dari pasien Leukemia Limfositik Akut (LLA), Leukemia Mielogenus Akut (LMA) mempunyai kelainan berupa:
- Kelainan jumlah kromosom seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid
- Kariotip yang pseudodiploid pada kasus dengan jumlah kromosom yang diploid (2n+a)
- Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial depletion)
- Terdapat marker kromosom yaitu elemen yang secara morfologis bukan merupakan kromosom normal, dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil. Untuk menentukan pengobatannya harus diketahui jenis kelainan yang ditemukan. Pada leukemia biasanya didapatkan dari hasil darah tepi berupa limfositosis lebih dari 80% atau terdapat sel blast. Juga diperlukan pemeriksaan dari sumsum tulang dengan menggunakan mikroskop elektron akan terlihat adanya sel patologis.
H. Penatalaksanaan
o Program terapi
Pengobatan terutama ditunjukkan untuk 2 hal (Netty Tejawinata, 1996) yaitu:
1. Memperbaiki keadaan umum dengan tindakan:
- Tranfusi sel darah merah padat (Pocket Red Cell-PRC) untuk mengatasi anemi. Apabila terjadi perdarahan hebat dan jumlah trombosit kurang dari 10.000/mm³, maka diperlukan transfusi trombosit.
- Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi.
2. Pengobatan spesifik
Terutama ditunjukkan untuk mengatasi sel-sel yang abnormal. Pelaksanaannya tergantung pada kebijaksanaan masing-masing rumah sakit, tetapi prinsip dasar pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
- Induksi untuk mencapai remisi: obat yang diberikan untuk mengatasi kanker sering disebut sitostatika (kemoterapi). Obat diberikan secara kombinasi dengan maksud untuk mengurangi sel-sel blastosit sampai 5% baik secara sistemik maupun intratekal sehingga dapat mengurangi gejala-gajala yang tampak.
- Intensifikasi, yaitu pengobatan secara intensif agar sel-sel yang tersisa tidak memperbanyak diri lagi.
- Mencegah penyebaran sel-sel abnormal ke sistem saraf pusat
- Terapi rumatan (pemeliharaan) dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi
3 fase Pelaksanaan Kemoterapi:
1. Fase Induksi
Dimulai 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi kortikosteroid (prednison), vineristin, dan L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan berhasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan di dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda kuurang dari 5%.
2. Fase profilaksis sistem saraf pusat
Pada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabine, dan hydrocortison melalui intratekal untuk mencegah invasi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf pusat.
3. Konsolidasi
Pada fase ini, kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan remisis dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala, dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat dikurangi.
o Pengobatan imunologik
Bertujuan untuk menghilangkan sel leukemia yang ada di dalam tubuh agar pasien dapat sembuh sempurna. Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus.
I. Asuhan Keperawata
Diagnosa Keperawatan
1. Risiko tinggi kekurangan volume cairan b.d intake dan output cairan, kehilangan berlebihan: muntah, perdarahan, diare, penurunan pemasukan cairan: mual, anoreksia, peningkatan kebutuhan cairan: demam, hipermetabolik.
Tujuan: volume cairan terpenuhi
Kriteria hasil:
- Volume cairan adekuat
- Mukosa lembab
- Tanda vital stabil: TD 90/60 mmHg, nadi 100x/menit, RR 20x/menit
- Nadi teraba
- Pengeluaran urin 30 ml/jam
- Kapileri refill <2 detik
Intervensi:
a. Monitor intake dan output cairan
b. Monitor berat badan
c. Monitor TD dan frekuensi jantung
d. Evaluasi turgor kulit, pengisian kapiler dan kondisi membran mukosa
e. Beri masukan cairan 3-4 L/hari
f. Inspeksi kulit/membran mukosa untuk petekie, area ekimosis; perhatikan perdarahan gusi, darah warna karat atau samar pada feses dan urin, perdarahan lanjut dari sisi tusukan invasif.
g. Implementasikan tindakan untuk mencegah cidera jaringan/perdarahan
h. Batasi perawatan oral untuk mencuci mulut bila diindikasikan
i. Berikan diet makanan halus
j. Kolaborasi:
- Berikan cairan IV sesuai indikasi
- Awasi pemeriksaan laboratorium: trombosit, Hb/Ht, pembekuan
- Berikan SDM, trombosit, faktor pembekuan
- Pertahankan alat akses vaskuler sentral eksternal (kateter arteri subklavikula, tunneld, port implan)
- Berikan obat sesuai indikasi: allopurinol, kalium asetat atau asetat, natrium bikarbonat, pelunak feses.
2. Nyeri b.d agen cidera fisik
Tujuan: nyeri teratasi
Kriteria hasil:
- Pasien menyatakan nyeri hilang atau terkontrol
- Menunjukkan perilaku penanganan nyeri
- Tampak rileks dan mampu istirahat
Intervensi:
a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan perubahan pada derajat nyeri (gunakan skala 0-10)
b. Awasi tanda vital, perhatikan petujuk non-verbal misal tegangan otot, gelisah
c. Berikan lingkungan tenang dan kurangi rangsangan penuh stres.
d. Tempatkan klien pada posisi nyaman dan ganjal sendi, ekstremitas dengan bantal.
e. Ubah posisi secara periodik dan bantu latihan rentang gerak lembut.
f. Berikan tindakan kenyamanan (pijatan, kompres dingin dan dukungan psikologis)
g. Kaji ulang/tingkatkan intervensi kenyamanan klien
h. Evaluasi dan dukung mekanisme koping klien
i. Dorong menggunakan teknik manajemen nyeri. Contoh: latihan relaksasi/nafas dalam, sentuhan.
j. Bantu aktivitas terapeutik, teknik relaksasi.
k. Kolaborasi:
- Awasi kadar asam urat, berikan obat sesuai indikasi: analgesik (asetaminofen), narkotik (kodein, meperidin, morfin, hidromorfin), agen ansietas (diazepam, lorazepam)
3. Risiko tinggi infeksi b.d menurunnya sistem pertahanan tubuh sekunder (gangguan pematangan SDP, peningkatan jumlah limfosit immatur, imunosupresi, penekanan sumsum tulang)
Tujuan: klien bebas dari infeksi
Kriteria hasil:
- Keadaan temperatur normal
- Hasil kultur negatif
- Peningkatan penyembuhan
Intervensi:
a. Tempatkan pada ruangan khusus. Batasi pengunjung sesuai indikasi
b. Cuci tangan untuk semua petugas dan pengunjung
c. Awasi suhu, perhatikan hubungan antara peningkatan suhu dan pengobatan kemoterapi. Observasi demam sehubungan dengan takikardia, hipotensi, perubahan mentak samar.
d. Cegah menggigil: tingkatkan cairan, berikan kompres
e. Dorong sering mengubah posisi, napas dalam, dan batuk
f. Auskultasi bunyi nafas, perhatikan gemericik, ronchi; inspeksi sekresi terhadap perubahan karakteristik, contoh peningkatan sputum atau sputum kental.
g. Inspeksi kulit untuk nyeri tekan, area eritematosus; luka terbuka. Bersihkan kulit dengan larutan antibakterial.
h. Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan sikat gigi halus.
i. Tingkatkan kebersihan perianal
j. Diet tinggi protein dan cairan
k. Hindari prosedur invasiv (tusukan jarum dan injeksi) bila mungkin
l. Kolaborasi
- Awasi pemeriksaan lab. Misal: hitung darah lengkap, apakah SDP turun atau tiba-tiba terjadi perubahan pada neutrofil; kultur gram/sensitivitas.
Kaji ulang seri foto dada, berikan obat sesuai indikasi, hindari antipiretik yang mengandung aspirin, berikan diet rendah bakteri, misal makanan dimasak.
4. Risiko terjadi perdarahan b.d trombositopenia
Tujuan: klien bebas dari gejala perdarahan
Kriteria hasil:
- TD 90/60 mmHg
- Nadi 100x/menit
- Ekskresi dan sekresi negatif terhadap darah
- Ht 40-54%(laki-laki), 37-47%(perempuan)
- Hb 14-18 gr%
Intervensi:
a. Pantau hitung trombosit dengan jumlah 50.000/ml, risiko terjadi perdarahan. Pantau Ht dan Hb terhadap tanda perdarahan.
b. Minta klien untuk mengingatkan perawat bila ada rembesan darah dari gusi
c. Inspeksi kkulit, mulut, hidung, urin, feses, muntahan, dan tempat tusukan IV terhadap perdarahan.
d. Gunakan jarum ukuran kecil
e. Jika terjadi perdarahan, tinggikan bagian yang sakit dan berikan kompres dingin dan tekan perlahan
f. Beri bantalan tempat tidur untuk mencegah trauma
g. Anjurkan pada klien untuk menggunakan sikat gigi halus atau pencukur listrik.
5. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum
Tujuan: klien mampu menoleransi aktivitas
Kriteria hasil:
- Peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur
- Berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari sesuai tingkat kemampuan
- Menunjukkan penurunan tanda fisiologis tidak toleran misal nadi, pernafasan, dan TD dalam batas normal
Intervensi:
a. Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa gangguan.
b. Implementasikan teknik penghematan energi. Contoh: lebih baik duduk daripada berdiri.
c. Jadwalkan makan sekitar kemoterapi. Jaga kebersihan mulut. Berikan antiemetik sesuai indikasi.
d. Kolaborasi: berikan oksigen tambahan.
J. Bibliografi
Behrman, Kliegman, Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. EGC
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC
Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Merdeka.
http://praktik-perawat.blogspot.com
http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/leukemia_pada_anak.html
http://dilichild86.blogspot.com/2008/04/asuh-keperawatan.html
Cari Blog Ini
Rabu, 22 Desember 2010
Rabu, 15 Desember 2010
Laporan Asuhan Keperawatan Cedera Kepala Ringan
LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA RINGAN
Konsep Dasar
A. Pengertian
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
B. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh, sehingga bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 50 – 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru.
Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
1. Klasifikasi cidera kepala
a. Cidera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik ( acceselarsi – descelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cidera primer dapat terjadi :
1). Geger kepala ringan
2). Memar otak
3). Laserasi.
b. Cedera kepala sekunder : timbul gejala seperti :
1). Hipotensi sistemik
2). Hiperkapnea
3). Hipokapnea
4). Udema otak
5). Komplikasi pernapasan
6). Infeksi komplikasi pada organ tubuh yang lain.
2. Jenis perdarahan yang sering ditemui pada cidera kepala :
a. Epidural hematoma
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang arteri meningeal media yang terdapat diantara duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena sangat berbahaya . Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.
Gejala – gejalanya :
1). Penurunan tingkat kesadaran
2). Nyeri kepala
3). Muntah
4). Hemiparese
5). Dilatasi pupil ipsilateral
6). Pernapasan cepat dalam kemudian dangkal ( reguler )
7). Penurunan nadi
8). Peningkatan suhu
b. Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam – 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Bingung
3). Mengantuk
4). Menarik diri
5). Berfikir lambat
6). Kejang
7). Udem pupil.
Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler dan vena.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Komplikasi pernapasan
4). Hemiplegi kontra lateral
5). Dilatasi pupil
6). Perubahan tanda – tanda vital
d. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Hemiparese
4). Dilatasi pupil ipsilateral
5). Kaku kuduk.
3. Hubungan cedera kepala terhadap munculnya masalah keperawatan
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subyektif maupun obyektif pada gangguan sistem persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
Identitas klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan darah, penghasilan, hubungan klien dengan penanggungjawab.
Riwayat kesehatan
Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang.
Riwayat penyakit dahulu barulah diketahui dengan baik yang berhubungan dengan sistem persyarafan maupun penyakit sistem – sistem lainnya, demikian pula riwayat penyakit keluarga yang mempunyai penyakit menular.
Pemeriksaan Fisik
1) Aktifitas / istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese,goyah dalam berjalan ( ataksia ), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
2) Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
3) Integritas ego
S : Perubahan tingkah laku / kepribadian
O : Mudah tersinggung, bingung, depresi dan impulsive
4) Eliminasi
O : bab / bak inkontinensia / disfungsi.
5) Makanan / cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
6) Neuro sensori :
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan / pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma.
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
7) Nyeri / rasa nyaman
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih.
8) Repirasi
O : Perubahan pola napas ( apnea, hiperventilasi ), napas berbunyi, stridor , ronchi dan wheezing.
9) Keamanan
S : Trauma / injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang kekuatan paralysis, demam,perubahan regulasi temperatur tubuh.
10) Intensitas sosial
O : Afasia, distarsia
Pemeriksaan penunjang
1) CT- Scan ( dengan tanpa kontras )
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan perubahan jaringan otak.
2) MRI
Digunakan sama dengan CT – Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3) Cerebral Angiography
Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5) X – Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan struktur garis ( perdarahan / edema ), fragmen tulang.
6) BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7) PET
Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.
8) CFS
Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9) ABGs
Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan ( oksigenisasi ) jika terjadi peningkatan tekanan intra cranial.
10) Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intrakranial.
11) Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
Penatalaksanaan
Konservatif :
- Bedres total
- Pemberian obat – obatan
- Observasi tanda – yanda vital ( GCS dan tingkat kesadaran).
Prioritas Masalah :
1). Memaksimalkan perfusi / fungsi otak
2). Mencegah komplikasi
3). Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal.
4). Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5). Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana, pengobatan dan rehabilitasi.
Tujuan :
1). Fungsi otak membaik, defisit neurologis berkurang/ tetap
2). Komplikasi tidak terjadi
3). Kebutuhan sehari – hari dapat terpenuhi sendiri atau dibantu oleh orang lain
4). Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
5). Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai sumber informasi.
Diagnosa Keperawatan
Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
Tidak efektifnya kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum
Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udema pada otak.
Keterbatasan aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (Soporous koma)
Resiko gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasai, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
Kecemasan keluarga berhubungan dengan keadaan yang kritis pada pasien.
Daftar Putaka
Asikin Z. (1991). Simposium Keperawatan Penderita Cidera kepala Penatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas. (Jakarta).
Doenges. M. E. (1989). Nursing Care Plan. Guidelines For Planning Patient Care (2 nd ). Philadelpia, F.A. Davis Company
Harsono. (1993) Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Kariasa I Made. (1997). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Jakarta.
Long; BC and Phipps WJ. (1985). Essensial of Medical Surgical Nursing : A Nursing process Approach St. CV. Mosby Company.
Tabrani. (1998). Agenda Gawat Darurat. Penerbit Alumni. Bandung.
TINJAUAN KASUS
Tanggal Pengkajian : 8 April 2002
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 7 April 2002
Ruangan / Tempat : Ruangan Bedah F RS Dr. Soetomo
Diagnosa Masuk : COS + Fraktur Basis Cranii, Fraktur Maksilla F II – F III
I. Identitas
Nama : Tn Cahyono
Umur : 21 tahun
Suku / bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan/pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Kedaton / Jombang
Penannggung jawab :
Nama : Sumiatun
Umur : 45 tahun
Suku / bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan/pekerjaan : SMP / Wiraswasta
Hubungan dengan klien : Orang tua / ibu kandung
Alamat : Kedaton / Jombang
II. Alasan Masuk Rumah Sakit
Alasan di rawat : Tidak sadarkan diri setelah terjatuh dari kendaraan sepeda motor
Upaya yang dilakukan :
Langsung membawa klien ke IRD RSUD Dr. Soetomo.
Klien baru pertama kali di opname di Rumah Sakit
III. Riwayat Kesehatan
1.1. Riwayat Penyakit sebelumnya
Klien sebelumnya tidak pernah menderita penyakit yang kronis / penyakit keturunan. Asthma Bronchiale tidak ada, Diabetes Mellitus tidak ada, klien selama ini hanya menderita penyakit panas, batuk dan pilek saja.
3.2 Riwayat penyakit sekarang
Klien tidak sadarkan diri / pingsan setelah jatuh ke selokan karena menghindar dari truk yang berkecepatan tinggi pada tanggal 7 April 2002. Posisi jatuh tidak diketahui , selanjutnya klien pingsan dan temannya yang minta bantuan pada orang yang lewat. Kemudian klien di bawa ke IRD RSUD Dr. Soetomo, GCS pada saat di IRD ExV4M6.
3.3 Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit genetic maupun penyakit menular yang berbahaya.
3.4. Keadaan kesehatan lingkungan : Tidak dikaji.
3.5. Genogram
Keterangan
= Laki – laki = Klien
= Perempuan = Tinggal dalam satu rumah.
IV. Observasi dan Pemeriksaan Fisik
1.2.Keadaan Umum
Kesadaran baik, GCS E3V4M6. Badan klien nampak bersih, gizi cukup, agak gelisah, terpasang infus DS – ½ – NS 1500 cc / 24 jam dan manitol 4 x 100 cc pada tangan kiri dan terpasang Dower kateter
1.3.Tanda Vital
Tekanan darah : 90/60 mm Hg
Nadi : 84 x / menit
Suhu : 36,8 0C
Pernapasan : 20 x / menit
1.4.Body Sistem
a) Pernapasan
Hidung : Nampak kotor karena adanya sisa darah yang kering
Trakhea : Dalam Batas normal
Dada : Bentuk simetris, gerakan simetris, jejas tidak ada
Suara napas : Vesikuler, tidak ada suara tambahan, batuk tidak ada, sputum tidak ada, cyanosis tidak.
Frekuensi napas : 20 x / menit
b) Kardiovaskuler
Nyeri dada tidak ada, pusing tidak ada, kram kaki tidak ada, sakit kepala sebelah kanan, palpitasi tidak ada, Clubbing finger tidak ada.
c) Persyarafan
Kesadaran : baik, GCS E3V4M6
Kepala dan wajah : Deformitas wajah baik, edema palpebra S/D : +/+
Mata :Mata agak sulit dibuka karena pada daerah palpebra oedema dan nampak kebiruan.
Mulut : Bengkak pada daerah bibir, gigi depan atas dan bawah keluar sebanyak 4 dan 3, terdapat darah yang mengering pada daerah mulut.
Leher : Dalam batas normal
Refleks fisiologis : Normal
Refleks Pathologis : Babinski negatif
Pendengaran : kanan / kiri normal
Penciuman : Normal
Pengecapan : Tidak dikaji
Penglihatan : Tidak dikaji
Perabaan : Tidak dikaji
Lainnya : Tidak ada.
d) Perkemihan / eliminasi urine
Produksi urine : kurang lebih 1300 cc / 24 jam
Warna urine : Kuning agak kemerahan
Gangguan saat kencing : Tidak ada
Lainnya : Terpasang kateter sejak tanggal 7 April 2002.
e) Makan dan minum :
Mulut : Tampak kotor dengan darah yang mongering, tidak dapat menutup mulut dengan rapat, udem pada daerah bibir. Klien tidak dapat mengunyah dengan sempurna, makanan yang diberikan adalah bubur saring dan susu. Porsi yang diberikan dapat dihabiskan.
Tenggorokan : Tidak ada kelainan
Abdomen : jejas tidak ada, peristaltik baik, simetris
BAB : Selama 2 hari ini klien belum BAB
Obat pencahar : belum digunakan
Lavamen : Belum dilakukan
Lain – lain : Tidak ada.
f) Tulang otot dan integumen5 5
5 5
Kemampuan pergerakan sendi
Parese tidak ada, paralise, tidak, hemiparese tidak ada.
Ekstremitas atas : Tidak terdapat kelainan
Ekstremitas bawah : Terdapat luka lecet pada lutut kanan yang mengering.
Warna kulit : Sawo matang
Akral : Hangat
Turgor kulit : Baik
ADL : Klien saat ini masih berbaring di tempat tidur.
g) Sistem Endokrin
Terapi hormon :tidak ada Riwayat pertumbuhan dan perkembangan fisik :normal
Perubahan ukuran kepala :tidak mengalami kelainan
Rambut dan kulit : Tidak nampak kering
Exopthalmus : Tidak ada
Goiter : Tidak ada
Hipoglikemia : Tidak ada
Toleransi terhadap panas : Ya
Toleransi terhadap dingin : Ya
Polidipsi : Tidak ada
Poliuri : Tidak ada
Polipagi : Tidak ada
Postural hipotensi : Tidak ada
Kelemahan : Tidak ada.
h) Sistem Hemopoitik
Diagnosa penyakit hemopoitik yang lalu : Tidak ada
Anemia : Tidak ada
Kecenderungan perdarahan : Tidak ada
Transfusi darah : Tidak pernah
Golongan darah : O.
i) Reproduksi
Laki – laki : Testis ada, penis normal.
j) Psikososial
Klien dapat berinteraksi dengan baik kepada petugas kesehatan.
k) Spritual
Sewaktu belum sakit klien menjalankan sholat 5 waktu secara teratur, dan selama sakit klien tidak lagi melaksanakannya.
V. Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 8 April 2002
Hb : 13,4 gr %
Leuko : 20.600
Trombo : 181.000
BGA :
PH : 7,392 ( N : 7,35 – 7,45 )
PCO2 : 34,2 ( N : 35 – 45 )
PO2 : 217,9 ( N : 80 – 104 )
HCO3 : 20,4 ( N : 21 – 25 )
BE : – 4,6 ( N : – 3,3 – +1,2 )
CT- Scan
ICH Parieto Occipital dextra, Fronto parietal dextra, Fraktur Zygoma Dextra, dinding lateral orbita dextra
Analisa : COS + SFBC + FR. Maxilla LF II – III + Hematosinus dextra dan sinistra.
Rencana Acara : Operasi fraktur maxilla
VI. Therapy
- Voltaren 3 x 1 amp
- Rantin 3 x 1 amp
- Cedantron 3 x 1 amp
- Dilantin 3 x 1 amp
- Manitol 4 x 100 cc
- Infus DS ½ – NS
VII. Diagnosa Keperawatan Sesuai Prioritas.
1. Gangguan perfusi darah otak berhubungan dengan oedema serebri dengandata penunjang :
- Sewaktu kecelakaan pasien tidak sadarakan diri
- GCS ExV4M5
- CT – Scan : ditemukan Intra cranial Hematoma parieto occipital dextra, fraktur zygoma dextra dinding lateral dextra.
- Tekanan darah : 90/ 60 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,8 OC Pernapasan 20 x / menit.
- Pemberian manitol 4 x 100 cc
2. Resiko terjadinya peningkatan TIK berhubungan dengan gangguan oksigenisasi ke otak dengan data penunjang :
- GCS ExV4M5
- CT – Scan : ditemukan Intra cranial Hematoma parieto occipital dextra, fraktur zygoma dextra dinding lateral dextra.
- Tekanan darah : 90/ 60 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,8 OC Pernapasan 20 x / menit.
- Pemberian Dilantin 3 x 1 amp
3. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dan infus dengan data penunjang :
- Terpasang kateter sejak tanggal 7 April 2002
- Terpasang infus sejak tanggal 7 April 2002
- Pengeluaran urine sebanyak 1300 cc/ 24 jam melalui selang kateter.
- Pemberian cedantion 3 x 1 amp
- Pemberian voltaren 3 x 1 amp
4. Gangguan oral hygiene berhubungan dengan perawatan mulut yang tidak optimal dengan data penunjang :
- Klien mengatakan rasa nyeri sewaktu membuka mulut
- Oedema pada daerah mulut
- Gigi tanggal sebanyak 7 buah
- Terdapatnya darah kering sekitar mulut dan hidung
LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA RINGAN
Konsep Dasar
A. Pengertian
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
B. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh, sehingga bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 50 – 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru.
Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
1. Klasifikasi cidera kepala
a. Cidera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik ( acceselarsi – descelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cidera primer dapat terjadi :
1). Geger kepala ringan
2). Memar otak
3). Laserasi.
b. Cedera kepala sekunder : timbul gejala seperti :
1). Hipotensi sistemik
2). Hiperkapnea
3). Hipokapnea
4). Udema otak
5). Komplikasi pernapasan
6). Infeksi komplikasi pada organ tubuh yang lain.
2. Jenis perdarahan yang sering ditemui pada cidera kepala :
a. Epidural hematoma
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang arteri meningeal media yang terdapat diantara duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena sangat berbahaya . Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.
Gejala – gejalanya :
1). Penurunan tingkat kesadaran
2). Nyeri kepala
3). Muntah
4). Hemiparese
5). Dilatasi pupil ipsilateral
6). Pernapasan cepat dalam kemudian dangkal ( reguler )
7). Penurunan nadi
8). Peningkatan suhu
b. Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam – 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Bingung
3). Mengantuk
4). Menarik diri
5). Berfikir lambat
6). Kejang
7). Udem pupil.
Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler dan vena.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Komplikasi pernapasan
4). Hemiplegi kontra lateral
5). Dilatasi pupil
6). Perubahan tanda – tanda vital
d. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Hemiparese
4). Dilatasi pupil ipsilateral
5). Kaku kuduk.
3. Hubungan cedera kepala terhadap munculnya masalah keperawatan
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subyektif maupun obyektif pada gangguan sistem persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
Identitas klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan darah, penghasilan, hubungan klien dengan penanggungjawab.
Riwayat kesehatan
Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang.
Riwayat penyakit dahulu barulah diketahui dengan baik yang berhubungan dengan sistem persyarafan maupun penyakit sistem – sistem lainnya, demikian pula riwayat penyakit keluarga yang mempunyai penyakit menular.
Pemeriksaan Fisik
1) Aktifitas / istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese,goyah dalam berjalan ( ataksia ), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
2) Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
3) Integritas ego
S : Perubahan tingkah laku / kepribadian
O : Mudah tersinggung, bingung, depresi dan impulsive
4) Eliminasi
O : bab / bak inkontinensia / disfungsi.
5) Makanan / cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
6) Neuro sensori :
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan / pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma.
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
7) Nyeri / rasa nyaman
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih.
8) Repirasi
O : Perubahan pola napas ( apnea, hiperventilasi ), napas berbunyi, stridor , ronchi dan wheezing.
9) Keamanan
S : Trauma / injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang kekuatan paralysis, demam,perubahan regulasi temperatur tubuh.
10) Intensitas sosial
O : Afasia, distarsia
Pemeriksaan penunjang
1) CT- Scan ( dengan tanpa kontras )
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan perubahan jaringan otak.
2) MRI
Digunakan sama dengan CT – Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3) Cerebral Angiography
Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5) X – Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan struktur garis ( perdarahan / edema ), fragmen tulang.
6) BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7) PET
Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.
8) CFS
Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9) ABGs
Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan ( oksigenisasi ) jika terjadi peningkatan tekanan intra cranial.
10) Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intrakranial.
11) Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
Penatalaksanaan
Konservatif :
- Bedres total
- Pemberian obat – obatan
- Observasi tanda – yanda vital ( GCS dan tingkat kesadaran).
Prioritas Masalah :
1). Memaksimalkan perfusi / fungsi otak
2). Mencegah komplikasi
3). Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal.
4). Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5). Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana, pengobatan dan rehabilitasi.
Tujuan :
1). Fungsi otak membaik, defisit neurologis berkurang/ tetap
2). Komplikasi tidak terjadi
3). Kebutuhan sehari – hari dapat terpenuhi sendiri atau dibantu oleh orang lain
4). Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
5). Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai sumber informasi.
Diagnosa Keperawatan
Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
Tidak efektifnya kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum
Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udema pada otak.
Keterbatasan aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (Soporous koma)
Resiko gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasai, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
Kecemasan keluarga berhubungan dengan keadaan yang kritis pada pasien.
Daftar Putaka
Asikin Z. (1991). Simposium Keperawatan Penderita Cidera kepala Penatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas. (Jakarta).
Doenges. M. E. (1989). Nursing Care Plan. Guidelines For Planning Patient Care (2 nd ). Philadelpia, F.A. Davis Company
Harsono. (1993) Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Kariasa I Made. (1997). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Jakarta.
Long; BC and Phipps WJ. (1985). Essensial of Medical Surgical Nursing : A Nursing process Approach St. CV. Mosby Company.
Tabrani. (1998). Agenda Gawat Darurat. Penerbit Alumni. Bandung.
TINJAUAN KASUS
Tanggal Pengkajian : 8 April 2002
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 7 April 2002
Ruangan / Tempat : Ruangan Bedah F RS Dr. Soetomo
Diagnosa Masuk : COS + Fraktur Basis Cranii, Fraktur Maksilla F II – F III
I. Identitas
Nama : Tn Cahyono
Umur : 21 tahun
Suku / bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan/pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Kedaton / Jombang
Penannggung jawab :
Nama : Sumiatun
Umur : 45 tahun
Suku / bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan/pekerjaan : SMP / Wiraswasta
Hubungan dengan klien : Orang tua / ibu kandung
Alamat : Kedaton / Jombang
II. Alasan Masuk Rumah Sakit
Alasan di rawat : Tidak sadarkan diri setelah terjatuh dari kendaraan sepeda motor
Upaya yang dilakukan :
Langsung membawa klien ke IRD RSUD Dr. Soetomo.
Klien baru pertama kali di opname di Rumah Sakit
III. Riwayat Kesehatan
1.1. Riwayat Penyakit sebelumnya
Klien sebelumnya tidak pernah menderita penyakit yang kronis / penyakit keturunan. Asthma Bronchiale tidak ada, Diabetes Mellitus tidak ada, klien selama ini hanya menderita penyakit panas, batuk dan pilek saja.
3.2 Riwayat penyakit sekarang
Klien tidak sadarkan diri / pingsan setelah jatuh ke selokan karena menghindar dari truk yang berkecepatan tinggi pada tanggal 7 April 2002. Posisi jatuh tidak diketahui , selanjutnya klien pingsan dan temannya yang minta bantuan pada orang yang lewat. Kemudian klien di bawa ke IRD RSUD Dr. Soetomo, GCS pada saat di IRD ExV4M6.
3.3 Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit genetic maupun penyakit menular yang berbahaya.
3.4. Keadaan kesehatan lingkungan : Tidak dikaji.
3.5. Genogram
Keterangan
= Laki – laki = Klien
= Perempuan = Tinggal dalam satu rumah.
IV. Observasi dan Pemeriksaan Fisik
1.2.Keadaan Umum
Kesadaran baik, GCS E3V4M6. Badan klien nampak bersih, gizi cukup, agak gelisah, terpasang infus DS – ½ – NS 1500 cc / 24 jam dan manitol 4 x 100 cc pada tangan kiri dan terpasang Dower kateter
1.3.Tanda Vital
Tekanan darah : 90/60 mm Hg
Nadi : 84 x / menit
Suhu : 36,8 0C
Pernapasan : 20 x / menit
1.4.Body Sistem
a) Pernapasan
Hidung : Nampak kotor karena adanya sisa darah yang kering
Trakhea : Dalam Batas normal
Dada : Bentuk simetris, gerakan simetris, jejas tidak ada
Suara napas : Vesikuler, tidak ada suara tambahan, batuk tidak ada, sputum tidak ada, cyanosis tidak.
Frekuensi napas : 20 x / menit
b) Kardiovaskuler
Nyeri dada tidak ada, pusing tidak ada, kram kaki tidak ada, sakit kepala sebelah kanan, palpitasi tidak ada, Clubbing finger tidak ada.
c) Persyarafan
Kesadaran : baik, GCS E3V4M6
Kepala dan wajah : Deformitas wajah baik, edema palpebra S/D : +/+
Mata :Mata agak sulit dibuka karena pada daerah palpebra oedema dan nampak kebiruan.
Mulut : Bengkak pada daerah bibir, gigi depan atas dan bawah keluar sebanyak 4 dan 3, terdapat darah yang mengering pada daerah mulut.
Leher : Dalam batas normal
Refleks fisiologis : Normal
Refleks Pathologis : Babinski negatif
Pendengaran : kanan / kiri normal
Penciuman : Normal
Pengecapan : Tidak dikaji
Penglihatan : Tidak dikaji
Perabaan : Tidak dikaji
Lainnya : Tidak ada.
d) Perkemihan / eliminasi urine
Produksi urine : kurang lebih 1300 cc / 24 jam
Warna urine : Kuning agak kemerahan
Gangguan saat kencing : Tidak ada
Lainnya : Terpasang kateter sejak tanggal 7 April 2002.
e) Makan dan minum :
Mulut : Tampak kotor dengan darah yang mongering, tidak dapat menutup mulut dengan rapat, udem pada daerah bibir. Klien tidak dapat mengunyah dengan sempurna, makanan yang diberikan adalah bubur saring dan susu. Porsi yang diberikan dapat dihabiskan.
Tenggorokan : Tidak ada kelainan
Abdomen : jejas tidak ada, peristaltik baik, simetris
BAB : Selama 2 hari ini klien belum BAB
Obat pencahar : belum digunakan
Lavamen : Belum dilakukan
Lain – lain : Tidak ada.
f) Tulang otot dan integumen5 5
5 5
Kemampuan pergerakan sendi
Parese tidak ada, paralise, tidak, hemiparese tidak ada.
Ekstremitas atas : Tidak terdapat kelainan
Ekstremitas bawah : Terdapat luka lecet pada lutut kanan yang mengering.
Warna kulit : Sawo matang
Akral : Hangat
Turgor kulit : Baik
ADL : Klien saat ini masih berbaring di tempat tidur.
g) Sistem Endokrin
Terapi hormon :tidak ada Riwayat pertumbuhan dan perkembangan fisik :normal
Perubahan ukuran kepala :tidak mengalami kelainan
Rambut dan kulit : Tidak nampak kering
Exopthalmus : Tidak ada
Goiter : Tidak ada
Hipoglikemia : Tidak ada
Toleransi terhadap panas : Ya
Toleransi terhadap dingin : Ya
Polidipsi : Tidak ada
Poliuri : Tidak ada
Polipagi : Tidak ada
Postural hipotensi : Tidak ada
Kelemahan : Tidak ada.
h) Sistem Hemopoitik
Diagnosa penyakit hemopoitik yang lalu : Tidak ada
Anemia : Tidak ada
Kecenderungan perdarahan : Tidak ada
Transfusi darah : Tidak pernah
Golongan darah : O.
i) Reproduksi
Laki – laki : Testis ada, penis normal.
j) Psikososial
Klien dapat berinteraksi dengan baik kepada petugas kesehatan.
k) Spritual
Sewaktu belum sakit klien menjalankan sholat 5 waktu secara teratur, dan selama sakit klien tidak lagi melaksanakannya.
V. Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 8 April 2002
Hb : 13,4 gr %
Leuko : 20.600
Trombo : 181.000
BGA :
PH : 7,392 ( N : 7,35 – 7,45 )
PCO2 : 34,2 ( N : 35 – 45 )
PO2 : 217,9 ( N : 80 – 104 )
HCO3 : 20,4 ( N : 21 – 25 )
BE : – 4,6 ( N : – 3,3 – +1,2 )
CT- Scan
ICH Parieto Occipital dextra, Fronto parietal dextra, Fraktur Zygoma Dextra, dinding lateral orbita dextra
Analisa : COS + SFBC + FR. Maxilla LF II – III + Hematosinus dextra dan sinistra.
Rencana Acara : Operasi fraktur maxilla
VI. Therapy
- Voltaren 3 x 1 amp
- Rantin 3 x 1 amp
- Cedantron 3 x 1 amp
- Dilantin 3 x 1 amp
- Manitol 4 x 100 cc
- Infus DS ½ – NS
VII. Diagnosa Keperawatan Sesuai Prioritas.
1. Gangguan perfusi darah otak berhubungan dengan oedema serebri dengandata penunjang :
- Sewaktu kecelakaan pasien tidak sadarakan diri
- GCS ExV4M5
- CT – Scan : ditemukan Intra cranial Hematoma parieto occipital dextra, fraktur zygoma dextra dinding lateral dextra.
- Tekanan darah : 90/ 60 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,8 OC Pernapasan 20 x / menit.
- Pemberian manitol 4 x 100 cc
2. Resiko terjadinya peningkatan TIK berhubungan dengan gangguan oksigenisasi ke otak dengan data penunjang :
- GCS ExV4M5
- CT – Scan : ditemukan Intra cranial Hematoma parieto occipital dextra, fraktur zygoma dextra dinding lateral dextra.
- Tekanan darah : 90/ 60 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,8 OC Pernapasan 20 x / menit.
- Pemberian Dilantin 3 x 1 amp
3. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dan infus dengan data penunjang :
- Terpasang kateter sejak tanggal 7 April 2002
- Terpasang infus sejak tanggal 7 April 2002
- Pengeluaran urine sebanyak 1300 cc/ 24 jam melalui selang kateter.
- Pemberian cedantion 3 x 1 amp
- Pemberian voltaren 3 x 1 amp
4. Gangguan oral hygiene berhubungan dengan perawatan mulut yang tidak optimal dengan data penunjang :
- Klien mengatakan rasa nyeri sewaktu membuka mulut
- Oedema pada daerah mulut
- Gigi tanggal sebanyak 7 buah
- Terdapatnya darah kering sekitar mulut dan hidung
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal.
Untuk kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi akan sa-
ngat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat berat-
nya cedera kepala serta berdasar morfologi.
Tabel 1
Klasifikasi cedera kepala
-------------------------------------------------------
A. Berdasarkan mekanisme
1 Tertutup
2 Penetrans
B. Berdasarkan beratnya
1 Skor Skala Koma Glasgow
2 Ringan, sedang, berat
C. Berdasarkan morfologi
1 Fraktura tengkorak
a Kalvaria
1 Linear atau stelata
2 Depressed atau nondepressed
b Basilar
2 Lesi intrakranial
a Fokal
1 Epidural
2 Subdural
3 Intraserebral
b Difusa
1 Konkusi ringan
2 Konkusi klasik
3 Cedera aksonal difusa
BERDASAR MEKANISME
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai ter-
tutup dan penetrans. Walau istilah ini luas digunakan
dan berguna untuk membedakan titik pandang, namun sebe-
tulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya
fraktura tengkorak depres dapat dimasukkan kesalah satu
golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya
cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk kegunaan kli-
nis, istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubung-
kan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan
cedera kepala penetrans lebih sering dikaitkan dengan
luka tembak dan luka tusuk. Karena pengelolaan kedua
kelompok besar ini sedikit berbeda, dipertahankanlah
pengelompokan ini untuk keperluan dskriptif.
BERDASAR BERATNYA
Sebelum 1974, penulis berbeda menggunakan terminologi
dengan konotasi bermacam-macam untuk menjelaskan pasien
dengan cedera kepala, dengan akibat betul-betul tidak
mungkin untuk membandingkan kelompok pasien dari senter
yang berbeda. Pada tahun 1974 Teasdale dan Jennet, de-
ngan mempelajari tanda-tanda yang tampaknya lebih dapat
dipercaya dalam memprediksi outcome dan yang mana tam-
paknya mempunyai variasi yang kecil antar pengamat,
merancang hal yang sekarang dikenal sebagai Skala Koma
Glasgow. Pengenalan SKG berakibat timbulnya keseragaman
dan kedisiplinan dalam literatur cedera kepala. Skala
ini telah mencapai penggunaan yang luas untuk menjelas-
kan pasien dengan cedera kepala dan selanjutnya sudah
diadopsi untuk mendeskripsikan penderita dengan peru-
bahan tingkat kesadaran karena sebab lain.
Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ke-
tidakmampuan untuk menuruti perintah, mengucapkan kata-
kata dan membuka mata. Pada pasien yang tidak mempunyai
ketiga aspek pada definisi tersebut tidak dianggap se-
bagai koma. Pasien yang bisa membuka mata secara spon-
tan, dapat mengikuti perintah serta mempunyai orienta-
si, mempunyai skor total 15 poin, sedang pasien yang
flaksid, dimana tidak bisa membuka mata atau berbicara
mempunyai skor minimum yaitu 3. Tidak ada skor tunggal
antara 3 dan 15 menentukan titik mutlak untuk koma. Ba-
gaimanapun 90% pasien dengan skor total delapan atau
kurang, dan tidak untuk yang mempunyai skor 9 atau le-
bih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan definisi
terdahulu. Untuk kegunaan praktis, skor total SKG 8 a-
tau kurang menjadi definisi yang sudah umum diterima
sebagai pasien koma. Perbedaan antara pasien dengan ce-
dera kepala berat dan dengan cedera kepala sedang atau
ringan karenanya menjadi sangat jelas. Namun perbedaan
antara cedera kepala sedang dan berat lebih sering me-
miliki masalah. Beberapa menyatakan bahwa pasien cedera
kepala dengan jumlah skor 9 hingga 12 dikelompokkan se-
bagai cedera kepala sedang, dan skor SKG 13 hingga 15
sebagai ringan. Williams, Levin dan Eisenberg baru-baru
ini melaporkan defisit neurologis penderita dengan ce-
dera kepala ringan (SKG 12 hingga 15) dengan lesi massa
intrakranial pada CT pertama adalah sesuai dengan
pasien dengan cedera kepala sedang (SKG 9 hingga 11).
Pasien dengan cedera kepala ringan tanpa dengan kompli-
kasi lesi intrakranial pada CT jelas lebih baik.
Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan
sebagai penderita cedera kepala berat bila :
1. Pupil tak ekual
2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau
adanya jaringan otak yang terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.
BERDASAR MORFOLOGI
Hadirnya CT Scanning menimbulkan revolusi dalam klasi-
fikasi dan pengelolaan cedera kepala. Walau pada pasien
tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin
dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera berat
sangat diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi.
Karenanya tindak lanjut CT scan berulang sangat penting
karena gambaran morfologis pada pasien cedera kepala
sering mengalami evolusi yang nyata dalam beberapa jam
pertama, beberapa hari, dan bahkan beberapa minggu se-
telah cedera. Secara morfologi, cedera kepala mungkin
secara umum digolongkan kedalam dua kelompok utama:
fraktura tengkorak dan lesi intrakranial.
Fraktura Tengkorak
Fraktura tengkorak mungkin tampak pada kalvaria atau
basis, mungkin linear atau stelata, mungkin depressed
atau nondepressed. Fraktura tengkorak basal sulit tam-
pak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan
dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan lo-
kasinya. Adanya tanda klinis fraktura tengkorak basal
mempertinggi indeks kemungkinan dan membantu identifi-
kasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih
dari ketebalan tengkorak memerlukan operasi elevasi.
Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hu-
bungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan se-
rebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlu-
kan operasi perbaikan segera.
Mengutip Jennett dan Teasdale, "Untuk mendasari
pemikiran, dan terutama untuk membenarkan pemikiran,
fraktura tengkorak adalah pertanda keparahan yang nyata
setelah cedera kepala. Beribu-ribu kepala disinar-x
diruang gawat darurat, namun hanya dua atau tiga kasus
dari seratus yang memiliki fraktura; mengakibatkan ra-
diologis menulisi kertas berdasarkan pengiriman yang
tidak benar dan menuntut klinisi mengerjakan triase
yang lebih baik sebelum sinar-x dikerjakan. Dokter be-
dah saraf telah lama menjelaskan bahwa penaksiran ting-
kat kesadaran lebih penting dari sinar-x tengkorak, dan
ini secara salah ditafsirkan bahwa menaruh perhatian
untuk melacak adanya fraktura adalah tidak penting,
terutama setelah cedera kepala yang agak ringan. Kenya-
taannya, pada pasien dengan kesadaran tak terganggu
yang mungkin dipulangkan setelah kecelakaan ringan,
adanya fraktura adalah sangat berarti, karena mewas-
padakan klinisi terhadap risiko komplikasi seperti he-
matoma intrakranial atau infeksi". Frekuensi fraktura
tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan
bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih ba-
nyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400
kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien
yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sa-
kit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya
tampak pasien tersebut.
Lesi Intrakranial
Mungkin dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difu-
sa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersa-
maan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma
subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral).
Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan
sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera
otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun tera-
khir ini.
Lesi Fokal
Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura,
namun didalam tengkorak. Paling sering terletak diregi-
o temporal atau temporal-parietal dan sering akibat ro-
beknya pembuluh meningeal media. Klot biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarah-
an vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma
epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama
diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Wa-
lau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering
(0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera
kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis
dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis
biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasa-
nya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada
status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma
epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada
pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.
Hematoma Subdural. Sangat lebih sering dari hema-
toma epidural, ditemukan sekitar 30% penderita dengan
cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat ro-
beknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus
draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mung-
kin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang
mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih
berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidu-
ral. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil
oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelola-
an medis agresif.
Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi sereb-
ral sejati terjadi cukup sering. Frekuensinya lebih
nyata sejak kualitas dan jumlah CT scanner meningkat.
Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan de-
ngan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi ter-
jadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi
pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak.
Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral
traumatika tetap tidak jelas batasannya. Lesi jenis
'salt-and-pepper' klasik jelas suatu kontusi, dan he-
matoma yang besar jelas bukan. Bagaimanapun, terdapat
zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun
menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Cedera difusa
Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat prog-
resif yang berkelanjutan, disebabkan oleh meningkatnya
jumlah cedera akselerasi-deselerasi otak. Pada bentuk
murni, cedera otak difusa adalah jenis cedera kepala
yang paling sering.
Konkusi Ringan. Konkusi ringan cedera dimana kesa-
daran tidak terganggu namun terdapat suatu tingkat dis-
fungsi neurologis temporer. Cedera ini sering terjadi
dan karena derajatnya ringan, sering tidak dibawa kepu-
sat medik. Bentuk paling ringan konkusi berakibat kon-
fusi dan disorientasi tanpa amnesia. Sindrom ini biasa-
nya pulih sempurna dan tanpa disertai adanya sekuele
major. Cedera kepala yang sedikit lebih berat menye-
babkan konfusi dengan baik amnesia retrograd maupun
posttraumatika.
Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik
adalah keadaan pasca trauma dengan akibat hilangnya ke-
sadaran. Keadaan ini selalu disertai suatu tingkat am-
nesia retrograd dan posttraumatika, dan lamanya amnesia
posttraumatika adalah pengukur yang baik atas beratnya
cedera. Hilangnya kesadaran adalah sementara dan dapat
pulih. Menurut definisi yang tidak terlalu ketat, pasi-
en kembali sadar sempurna dalam enam jam, walau biasa-
nya sangat awal. Kebanyakan pasien setelah konkusi se-
rebral klasik tidak mempunyai sekuele kecuali amnesia
atas kejadian yang berkaitan dengan cedera, namun be-
berapa pasien mempunyai defisit neurologis yang berja-
lan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.
Cedera Aksonal Difusa (CAD). Cedera aksonal difusa
(Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah istilah untuk men-
jelaskan koma pasca traumatika yang lama yang tidak di-
karenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Kehilang-
an kesadaran sejak saat cedera berlanjut diluar enam
jam. Fenomena ini mungkin dipisahkan menjadi kategori
ringan, sedang dan berat. CAD ringan relatif jarang dan
dibatasi pada kelompok dengan koma yang berakhir pada 6
hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut perintah se-
telah 24 jam. CAD sedang dibatasi pada koma yang bera-
khir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak
yang menonjol. Ini bentuk CAD yang paling sering dan
merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD. CAD berat
biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan bentuk
yang paling mematikan. Merupakan 36% dari semua pasien
dengan CAD. Pasien menampakkan koma dalam dan menetap
untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekor-
tikasi atau deserebrasi dan sering dengan cacat berat
yang menetap bila penderita tidak mati. Pasien sering
menunjukkan disfungsi otonom seperti hipertensi, hiper-
hidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak mem-
punyai cedera batang otak primer. Sekarang dipercaya
bahwa CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisio-
logi atas gambaran klinik yang terjadi.
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal.
Untuk kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi akan sa-
ngat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat berat-
nya cedera kepala serta berdasar morfologi.
Tabel 1
Klasifikasi cedera kepala
-------------------------------------------------------
A. Berdasarkan mekanisme
1 Tertutup
2 Penetrans
B. Berdasarkan beratnya
1 Skor Skala Koma Glasgow
2 Ringan, sedang, berat
C. Berdasarkan morfologi
1 Fraktura tengkorak
a Kalvaria
1 Linear atau stelata
2 Depressed atau nondepressed
b Basilar
2 Lesi intrakranial
a Fokal
1 Epidural
2 Subdural
3 Intraserebral
b Difusa
1 Konkusi ringan
2 Konkusi klasik
3 Cedera aksonal difusa
BERDASAR MEKANISME
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai ter-
tutup dan penetrans. Walau istilah ini luas digunakan
dan berguna untuk membedakan titik pandang, namun sebe-
tulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya
fraktura tengkorak depres dapat dimasukkan kesalah satu
golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya
cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk kegunaan kli-
nis, istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubung-
kan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan
cedera kepala penetrans lebih sering dikaitkan dengan
luka tembak dan luka tusuk. Karena pengelolaan kedua
kelompok besar ini sedikit berbeda, dipertahankanlah
pengelompokan ini untuk keperluan dskriptif.
BERDASAR BERATNYA
Sebelum 1974, penulis berbeda menggunakan terminologi
dengan konotasi bermacam-macam untuk menjelaskan pasien
dengan cedera kepala, dengan akibat betul-betul tidak
mungkin untuk membandingkan kelompok pasien dari senter
yang berbeda. Pada tahun 1974 Teasdale dan Jennet, de-
ngan mempelajari tanda-tanda yang tampaknya lebih dapat
dipercaya dalam memprediksi outcome dan yang mana tam-
paknya mempunyai variasi yang kecil antar pengamat,
merancang hal yang sekarang dikenal sebagai Skala Koma
Glasgow. Pengenalan SKG berakibat timbulnya keseragaman
dan kedisiplinan dalam literatur cedera kepala. Skala
ini telah mencapai penggunaan yang luas untuk menjelas-
kan pasien dengan cedera kepala dan selanjutnya sudah
diadopsi untuk mendeskripsikan penderita dengan peru-
bahan tingkat kesadaran karena sebab lain.
Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ke-
tidakmampuan untuk menuruti perintah, mengucapkan kata-
kata dan membuka mata. Pada pasien yang tidak mempunyai
ketiga aspek pada definisi tersebut tidak dianggap se-
bagai koma. Pasien yang bisa membuka mata secara spon-
tan, dapat mengikuti perintah serta mempunyai orienta-
si, mempunyai skor total 15 poin, sedang pasien yang
flaksid, dimana tidak bisa membuka mata atau berbicara
mempunyai skor minimum yaitu 3. Tidak ada skor tunggal
antara 3 dan 15 menentukan titik mutlak untuk koma. Ba-
gaimanapun 90% pasien dengan skor total delapan atau
kurang, dan tidak untuk yang mempunyai skor 9 atau le-
bih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan definisi
terdahulu. Untuk kegunaan praktis, skor total SKG 8 a-
tau kurang menjadi definisi yang sudah umum diterima
sebagai pasien koma. Perbedaan antara pasien dengan ce-
dera kepala berat dan dengan cedera kepala sedang atau
ringan karenanya menjadi sangat jelas. Namun perbedaan
antara cedera kepala sedang dan berat lebih sering me-
miliki masalah. Beberapa menyatakan bahwa pasien cedera
kepala dengan jumlah skor 9 hingga 12 dikelompokkan se-
bagai cedera kepala sedang, dan skor SKG 13 hingga 15
sebagai ringan. Williams, Levin dan Eisenberg baru-baru
ini melaporkan defisit neurologis penderita dengan ce-
dera kepala ringan (SKG 12 hingga 15) dengan lesi massa
intrakranial pada CT pertama adalah sesuai dengan
pasien dengan cedera kepala sedang (SKG 9 hingga 11).
Pasien dengan cedera kepala ringan tanpa dengan kompli-
kasi lesi intrakranial pada CT jelas lebih baik.
Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan
sebagai penderita cedera kepala berat bila :
1. Pupil tak ekual
2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau
adanya jaringan otak yang terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.
BERDASAR MORFOLOGI
Hadirnya CT Scanning menimbulkan revolusi dalam klasi-
fikasi dan pengelolaan cedera kepala. Walau pada pasien
tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin
dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera berat
sangat diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi.
Karenanya tindak lanjut CT scan berulang sangat penting
karena gambaran morfologis pada pasien cedera kepala
sering mengalami evolusi yang nyata dalam beberapa jam
pertama, beberapa hari, dan bahkan beberapa minggu se-
telah cedera. Secara morfologi, cedera kepala mungkin
secara umum digolongkan kedalam dua kelompok utama:
fraktura tengkorak dan lesi intrakranial.
Fraktura Tengkorak
Fraktura tengkorak mungkin tampak pada kalvaria atau
basis, mungkin linear atau stelata, mungkin depressed
atau nondepressed. Fraktura tengkorak basal sulit tam-
pak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan
dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan lo-
kasinya. Adanya tanda klinis fraktura tengkorak basal
mempertinggi indeks kemungkinan dan membantu identifi-
kasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih
dari ketebalan tengkorak memerlukan operasi elevasi.
Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hu-
bungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan se-
rebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlu-
kan operasi perbaikan segera.
Mengutip Jennett dan Teasdale, "Untuk mendasari
pemikiran, dan terutama untuk membenarkan pemikiran,
fraktura tengkorak adalah pertanda keparahan yang nyata
setelah cedera kepala. Beribu-ribu kepala disinar-x
diruang gawat darurat, namun hanya dua atau tiga kasus
dari seratus yang memiliki fraktura; mengakibatkan ra-
diologis menulisi kertas berdasarkan pengiriman yang
tidak benar dan menuntut klinisi mengerjakan triase
yang lebih baik sebelum sinar-x dikerjakan. Dokter be-
dah saraf telah lama menjelaskan bahwa penaksiran ting-
kat kesadaran lebih penting dari sinar-x tengkorak, dan
ini secara salah ditafsirkan bahwa menaruh perhatian
untuk melacak adanya fraktura adalah tidak penting,
terutama setelah cedera kepala yang agak ringan. Kenya-
taannya, pada pasien dengan kesadaran tak terganggu
yang mungkin dipulangkan setelah kecelakaan ringan,
adanya fraktura adalah sangat berarti, karena mewas-
padakan klinisi terhadap risiko komplikasi seperti he-
matoma intrakranial atau infeksi". Frekuensi fraktura
tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan
bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih ba-
nyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400
kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien
yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sa-
kit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya
tampak pasien tersebut.
Lesi Intrakranial
Mungkin dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difu-
sa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersa-
maan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma
subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral).
Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan
sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera
otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun tera-
khir ini.
Lesi Fokal
Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura,
namun didalam tengkorak. Paling sering terletak diregi-
o temporal atau temporal-parietal dan sering akibat ro-
beknya pembuluh meningeal media. Klot biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarah-
an vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma
epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama
diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Wa-
lau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering
(0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera
kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis
dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis
biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasa-
nya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada
status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma
epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada
pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.
Hematoma Subdural. Sangat lebih sering dari hema-
toma epidural, ditemukan sekitar 30% penderita dengan
cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat ro-
beknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus
draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mung-
kin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang
mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih
berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidu-
ral. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil
oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelola-
an medis agresif.
Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi sereb-
ral sejati terjadi cukup sering. Frekuensinya lebih
nyata sejak kualitas dan jumlah CT scanner meningkat.
Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan de-
ngan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi ter-
jadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi
pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak.
Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral
traumatika tetap tidak jelas batasannya. Lesi jenis
'salt-and-pepper' klasik jelas suatu kontusi, dan he-
matoma yang besar jelas bukan. Bagaimanapun, terdapat
zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun
menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Cedera difusa
Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat prog-
resif yang berkelanjutan, disebabkan oleh meningkatnya
jumlah cedera akselerasi-deselerasi otak. Pada bentuk
murni, cedera otak difusa adalah jenis cedera kepala
yang paling sering.
Konkusi Ringan. Konkusi ringan cedera dimana kesa-
daran tidak terganggu namun terdapat suatu tingkat dis-
fungsi neurologis temporer. Cedera ini sering terjadi
dan karena derajatnya ringan, sering tidak dibawa kepu-
sat medik. Bentuk paling ringan konkusi berakibat kon-
fusi dan disorientasi tanpa amnesia. Sindrom ini biasa-
nya pulih sempurna dan tanpa disertai adanya sekuele
major. Cedera kepala yang sedikit lebih berat menye-
babkan konfusi dengan baik amnesia retrograd maupun
posttraumatika.
Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik
adalah keadaan pasca trauma dengan akibat hilangnya ke-
sadaran. Keadaan ini selalu disertai suatu tingkat am-
nesia retrograd dan posttraumatika, dan lamanya amnesia
posttraumatika adalah pengukur yang baik atas beratnya
cedera. Hilangnya kesadaran adalah sementara dan dapat
pulih. Menurut definisi yang tidak terlalu ketat, pasi-
en kembali sadar sempurna dalam enam jam, walau biasa-
nya sangat awal. Kebanyakan pasien setelah konkusi se-
rebral klasik tidak mempunyai sekuele kecuali amnesia
atas kejadian yang berkaitan dengan cedera, namun be-
berapa pasien mempunyai defisit neurologis yang berja-
lan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.
Cedera Aksonal Difusa (CAD). Cedera aksonal difusa
(Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah istilah untuk men-
jelaskan koma pasca traumatika yang lama yang tidak di-
karenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Kehilang-
an kesadaran sejak saat cedera berlanjut diluar enam
jam. Fenomena ini mungkin dipisahkan menjadi kategori
ringan, sedang dan berat. CAD ringan relatif jarang dan
dibatasi pada kelompok dengan koma yang berakhir pada 6
hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut perintah se-
telah 24 jam. CAD sedang dibatasi pada koma yang bera-
khir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak
yang menonjol. Ini bentuk CAD yang paling sering dan
merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD. CAD berat
biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan bentuk
yang paling mematikan. Merupakan 36% dari semua pasien
dengan CAD. Pasien menampakkan koma dalam dan menetap
untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekor-
tikasi atau deserebrasi dan sering dengan cacat berat
yang menetap bila penderita tidak mati. Pasien sering
menunjukkan disfungsi otonom seperti hipertensi, hiper-
hidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak mem-
punyai cedera batang otak primer. Sekarang dipercaya
bahwa CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisio-
logi atas gambaran klinik yang terjadi.
Selasa, 14 Desember 2010
cara pemasangan NGT
Pengertian | Memasukkan NGT (Penduga lambung) melalui hidung ke dalam lambung. 1. Memberi makanan dan obat-obatan. 2. Membilas/mengumbah lambung | |||||||||||||||
Tujuan | Sebagai acuan untuk melakukan tindakan pemasang NGT 1. Membilas/mengumbah lambung 2. Memberi makanan dan obat-obatan. | |||||||||||||||
Kebijakan | -1 Perawat yang terampil -2 Tersedia alat-alat lengkap | |||||||||||||||
Prosedur | Persiapan alat :
PENATALAKSANAAN 1. Menjelaskan tujuan pemasangan NGT pada keluarga pasien 2. Membawa alat-alat ke dekat pasien 3. Mengatur posisi pasien sesuai dengan keadaan pasien 4. Memasang perlak + pengalas pada daerah dada 6. Mencuci tangan dan memakai sarung tangan 7. Mengukur dan memberi tanda pada NGT yang akan dipasang lebih kurang 40-45 cm (diukur mulai dahi s/d proxesus xypoideus) 8. Mengolesi NGT dengan aquaJelly sepajang 15 cm dari ujung NGT 9. Memasukkan NGT malalui lubang hidung dan pasien dianjurkan untuk menelan (jika pasien tidak sadar tekan lidah pasien dengan spatel) masukan NGT sampai pada batas yang sudah ditentukan sambil perhatikan keadaan umum pasien. 10. Cek posisi NGT (apakah masuk di lambung atau di paru-paru) dengan 3 cara : a. Aspirasi cairan lambung dengan spuit 10 cc jika cairan bercampur isis lambung berarti sudah masuk kelambung, b. Memasukan ujung NGT (yang dihidung) kedalam air dalam kom bila ada gelembung berarti NGT dalam paru-paru c. Petugas memasukan gelembung udara melalui spuit bersamaan dilakukan pengecekan perut dengan stetoskop untuk mendengarkan gelembung udara di lambung 11. Memasang corong (yang sudah dibilas dengan air hangat), kemudian memasukan obat-obatan/makanan 12. Melepas corong, menutup NGT dengan spuit 10 cc. 13. Merapikan alat-alat dan pasien kemudian sarung tangan dilepas. 14. Mendokumentasikan Hal-hal yang perlu diperhatikan : 1. NGT / Sonde dipasang selama 7 hari (ganti setiap 7 hari sekali) | |||||||||||||||
Unit terkait | Rawat Inap |
Langganan:
Postingan (Atom)